Minggu, 15 Mei 2011

Bagurau Saluang dan Dendang dalam Perspektif Perubahan Budaya Minangkabau-provinsi Sumatra barat

Bagurau Saluang dan Dendang dalam
Perspektif Perubahan Budaya Minangkabau.

Oleh : Ricky Idaman S.SH.MH

Minangkabau sebagai salah satu bagian dari kebudayaan (alam) Melayu, merupakan wilayah yang kaya dengan tradisi budaya. Tradisi budaya Minangkabau ini tumbuh dan berkembang sebagai tradisi budaya rakyat., yang berakar pada sistem kekerabatan Minangkabau yang bersifat matrilinial. Tradisi budaya ini sekaligus mencerminkan dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau, sesuai dengan falsafah adatnya Alam Terkembang Jadikan Guru, sakali aie gadang, sakali tapian barubah .
Dinamika perkembangan tradisi budaya Minangkabau, semenjak akhir tahun 60 an begitu cepat dan bergemuruh. Banyak perubahan dan pergeseran yang cukup penting terjadi dalam kehidupan orang Minangkabau. Salah satu perkembangan yang menarik sebagai bahan kajian adalah perkembangan dalam kehidupan seni pertunjukannya, terutama pertunjukan bagurau saluang dan dendang, yang memberikan ruang untuk kaum perempuan tampil sebagai pelaku utama dalam kegiatan budaya tradisi tersebut .
Dalam kehidupan adat Minangkabau yang matrilinal, sebelum periode akhir 1960-an tersebut, kaum perempuan boleh dikatakan “tabu” tampil dalam kegiatan pertunjukan bagurau saluang dan dendang, karena ada aturan dan sistem nilai sosial yang “melarang” kaum perempuan ikut serta dalam kegiatan pertunjukan tersebut. Sistem matrilinial yang menjadi anutan masyarakat Minangkabau secara konseptual dan normatif memang menempatkan kaum perempuan pada posisi yang dilematis, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan-kegiatan peretunjukan di dalam kehidupan di ruang publik . Menurut Fuji Astuti, dalam bidang seni pertunjukan terlihat penampakan yang khas. Di masa lalu paham tradisi tentang rasa (perasaan) dan ‘periksa’ (pikiran) (rasa jo pareso) mengisyaratkan bahwa perempuan harus tahu malu, paham ajaran Islam tentang ‘aurat’, dan mempertegas ajaran adat. Oleh karena itu, tertutup ruang gerak bagi perempuan untuk mengekspresikan diri melaui dunia seni pertunjukan karena dianggap ‘mencoreng arang di kening’ di hadapan publik. Sementara bagi laki-laki, dunia kesenian adalah bagian dari kehidupan dan merupakan peran penting permainan anak nagari sebagai bagian dari adat istiadat Minangkabau .
Tulisan ini, akan mencoba memaparkan perkembangan salah satu tradisi seni pertunjukan Minangkabau, yang sekarang disebut dengan bagurau saluang dan dendang. Bagurau saluang dan dendang, merupakan salah satu tradisi pertunjukan yang penting di Minangkabau, dan tradisi ini telah tumbuh sejak lama, dan telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang menarik. Secara sederhana dapat dijelaskan, bentuk tradisi bagurau saluang dan dendang, adalah sebuah pertunjukan musikal dengan menggunakan alat tiup bambu (flute) sebagai instrumen pengiring, dan nyanyian (dendang) sebagai media menyampaikan pantun-pantun.
Melalui tradisi pertunjukan bagurau saluang dan dendang, pada hakekatnya kita akan menemukan berbagai aspek budaya Minangkabau yang spesifik, seperti tradisi lisan sebagai refleksi dari budaya lisan orang Minangkabau. Sedangkan melalui konteks pertunjukannya sendiri, kita akan dapat melihat hubungan sosial dan tradisi budaya Minangkabau yang menopangnya.
Dalam makalah ini, saya akan mencoba memaparkan pertunjukan bagurau salauang dan dendang, sebagai bagian yang penting dari tradisi budaya masyarakat Minangkabau, serta perkembangannya yang terjadi sebagai refleksi dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau. Dengan kata lain, melaui makalah pendek ini saya akan mencoba melihat perubahan masyarakat dan kebudayaan Minangkabau dalam perspektif seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang, yang secara akademis merupakan bidang perhatian saya dalam beberapa tahun terakhir, sesuai dengan mata kuliah yang saya ajar yakni antropologi seni.
Secara antropologis kajian atau telaah tentang kesenian dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, telaah yang berciri tekstual, dan kedua berciri kontekstual. Telaah tekstual atas kesenian memandang fenomena kesenian sebagai sebuah “teks” untuk dibaca, untuk diberi makna, atau untuk dideskripsikan strukturnya, bukan untuk dijelaskan atau dicari sebab-musababnya. Sedangkan telaah yang bercirikan kontekstual, adalah telaah yang menempatkan fenomena kesenian di tengah konstelasi sejumlah elemen, bagian, atau fenomena yang berhubungan dengan fenomena tersebut .
Pendekatan yang dikembangkan dalam makalah ini adalah pendekatan antropologis, yang melihat kesenian sebagai sesuatu yang kontekstual, sehingga sebuah kegiatan kesenian dapat dijadikan sebagai sumber telaah dari berbagai elemen sosial yang menjadi penopangnya. Dalam demikian, kegiatan pertunjukan bagurau saluang sebagai bagian dari kegiatan budaya Minangkabau, dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk membicarakan masalah sosial atau perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau.

Tradisi Kesenian Minangkabau
Pada umumnya kesenian tradisi Minangkabau merupakan kesenian rakyat yang tumbuh dan berkembang pada komunitas-komunitas masyarakat nagari, sesuai dengan pepatah adat Minangkabau adat salingka nagari (adat selingkar desa). Nagari merupakan suatu wilayah utama bagi hubungan komunitas masyarakat Minangkabau. Sebuah nagari tidak saja merupakan wilayah tritorial tetapi juga merupakan wilayah kesatuan budaya (adat), ekonomi, bahkan juga politik. Nagari begitu penting peran dan artinya bagi masyarakat Minangkabau, karena merupakan basis kultural dan simbol pemersatu dari kebudayaan Minangkabau.
Menurut Mochtar Naim, nagari adalah lambang mikrokosmik dari tatanan makrokosmik yang lebih luas. Dalam dirinya ada sistem yang memenuhi persyaratan embrional dari sebuah negara. Di nagari, bukan saja unsur minimal dari perangkat negara ada dalam tatanan pemerintah nagari, yakni legislatif yudikatif dan eksekutif, tetapi dia juga merupakan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosial-budaya lainnya. Ikatan bernagari di Minangkabau, dahulunya, bukan saja primodial-konsanguinal (ikatan darah dan kekerabatan adat), sifatnya tetapi juga struktural fungsional, dalam artian, teritorial-fungsional pemerintahan yang efektif. Oleh karena itu kaitannya ke atas ke luhak dan ke Alam, dan ke samping sesama nagari, terutama adalah kaitan emosional tetapi tidak struktural-fungsional.
Dalam ikatan ikatan nagari inilah tumbuh dan berkembangnya kesenian tradisi Minangkabau, yang disebut dengan permainan anak nagari . Meskipun disebut “permainan” namun dalam masyarakat tradisional Minangkabau tradisi kesenian memiliki peranan penting sebagai media penyambung tradisi budaya Minangkabau.
Pentingnya tradisi kesenian ini dapat dilihat dalam Undang-undang IX Pucuak, yakni; (1) undang-undang takluk pada raja, (2) undang-undang takluk penghulu, (3) undang-undang takluk pada ulama, (4), undang-undang takluk pada pakaian, (5), undang-undang takluk pada permainan anak nagari, (6) undang-undang takluk pada bunyi-bunyian (musik), (7) undang-undang takluk pada keramaian, (8) undang-undang takluk pada hukum, dan (9) undang-undang takluk pada kekuasaan alam .
Dari penjelasan ini, kita dapat melihat bahwa kedudukan seni budaya dalam masyarakat Minangkabau tampaknya cukup penting, karena dari Undang-undang IX Pucuk, tiga di antaranya berisi tentang aturan kehidupan kesenian, yakni aturan tentang permainan anak negeri, aturan tentang bunyian-bunyian dan terakhir aturan tentang keramaian. Berdasarkan aturan formal dalam hukum adat Minangkabau ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesenian atau permainan anak nagari mendapat pengakuan dan perlindungan melalui hukum adat. Kesenian Minangkabau memiliki fungsi yang penting bagi kehidupan masyarakat tradisional itu sendiri, karena terikat erat dengan sistem sosial dari masyarakat Minangkabau. Hal ini sesuai dengan apa yang dirumuskan Kayam, bahwa fungsi utama dari kesenian tradisi adalah sebagai pengikat solidaritas masyarakat serta penjabar nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat .
Ada berbagai bentuk kesenian yang tumbuh dan terus berkembang, baik dalam bentuk tarian, musik, teater rakyat, sastra tutur (bakaba), ataupun bentuk-bentuk yang khas seperti pertunjukan musik saluang dan dendang, yang disebut oleh masyarakat Minangkabau masa kini dengan bagurau.
Tradisi budaya dan seni pertunjukan dalam masyarakat Minangkabau berbagai macam bentuk dan ragamnya. Di antara yang beragam tersebut, yang terpenting sebagai sumber dari pertumbuhan dan perkembangan seni pertunjukan Minangkabau adalah seni tutur (bakaba) dan pencak silat. Seni tutur adalah bagian dari tradisi lisan yang merupakan karya budaya yang penting di Minangkabau. Sedangkan pencak silat, selain merupakan suatu olahraga bela diri, juga merupakan seni gerak, yang telah menjadi sumber perkembangan seni pertunjukan rakyat Minangkabau selama ini, terutama dalam teater tradisi randai dan seni tari.
Pada awalnya, bakaba hanyalah seni pertunjukan yang sederhana dengan hanya menggunakan seni vokal sebagai idiom utamanya dan kaba (cerita). Kemudian bentuknya berkembang menjadi seni pertunjukan rakyat dengan iringan musik, seperti basijobang . Sedangkan dari tradisi pencak silat yang tumbuh dari sasaran silat (tempat latihan), mendorong lahirnya bentuk teater rakyat Minangkabau, randai.
Selain bentuk-bentuk seni pertunjukan di atas, tradisi seni pertunjukan Minangkabau juga ada tradisi kesenian yang awalnya berkembang sebagai media dakwah agama Islam (seni bernuansa Islam). Di antara sekian banyak tradisi seni pertunjukan bernuansa Islam ini, yang terpenting adalah baindang dan salawat dulang .
Tradisi seni pertunjukan bernuansa Islam pada awalnya bertumbuh dan berkembang di surau-surau, dengan fungsi utama menyampaikan pesan-pesan Islam. Namun sekarang, telah menjadi suatu bentuk seni pertunjukan yang terbuka dan merakyat .
Selain bentuk-bentuk seni pertunjukan rakyat yang disebutkan di atas, hal yang cukup menarik dari tradisi kesenian Minangkabau adalah sifatnya yang plural. Secara garis besar, kesenian Minangkabau dapat dikelompokkan ke dalam tiga corak kesenian, yakni; (1) kesenian darek yang bercorak kesenian petani, (2) kesenian pasisia merupakan kesenian yang bercorak bandar (pelabuhan), yang perannya lebih bersifat hiburan, dan (3) kesenian Islam berperan sebagai pengisi acara yang berhubungan dengan tradisi Islam . Ketiga corak kesenian ini merupakan suatu gambaran dari kondisi kehidupan kebudayaan tradisional masyarakat Minangkabau, yang memiliki sejarah dan orientasi budaya yang bersifat plural.
Tradisi budaya dalam masyarakat Minangkabau, jika dilihat dari aspek wilayah penyebarannya (geo-kultural) dapat dibagi menjadi dua wilayah utama, yakni tradisi budaya yang tumbuh di daerah pedalaman, yang disebut dengan darek dan wilayah pesisir yang dulu disebut rantau pesisir Minangkabau.
Kedua wilayah geokultural ini memiliki karakteristik dan tradisi budaya yang berbeda, seperti diungkapkan pepatah adat Minangkabau luhak bapanghulu, rantau barajo. Namun kedua wilayah ini memiliki hubungan yang sangat penting dan saling mempengaruhi, seperti diungkapkan pantun berikut; karatau madang dihulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di kampung paguno balun. Darek, yang merupakan daerah utama atau pemukiman tradisional orang Minangkabau, merupakan wilayah dataran tinggi di Sumatera Barat yang terdapat di lembah-lembah sekitar pegunungan, yang secara tradisional disebut dengan Luhak Nan Tigo. Sedangan daerah rantau adalah daerah sekelilingnya, yang merupakan daerah koloni orang Minangkabau .
Daerah darek, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari wilayah pertanian telah menumbuhkan tradisi budaya yang bersifat agraris, dan bentuk-bentuk keseniannya yang tumbuh di wilayah ini juga berbeda dengan yang ada di wilayah pesisir, terutama pesisir Barat Sumatera Barat. Di daerah darek, tradisi musik yang paling populer adalah saluang dan dendang, sedangkan di wilayah pesisir adalah rebab.
Daerah pesisir Barat Sumatera Barat, adalah wilayah Minangkabau yang paling banyak bersentuhan dengan budaya luar, sehingga bentuk-bentuk seni tradisinya merupakan hasil akulturasi budaya dengan berbagai budaya dunia. Sebelum kedatangan orang Barat ke Minangkabau, pantai Barat Minangkabau secara kultural didominasi oleh orang Aceh, sehingga rumah adat di Padang disebut, rumah gadang surambi Aceh.
Setelah kedatangan bangsa Barat, dan juga beberapa suku bangsa dari Asia seperti India dan China, perkembangan budaya di pesisir Barat Minangkabau, mengalami proses akulturasi budaya yang menarik. Di kota Padang misalnya, tradisi musik yang paling dikenal adalah musik Gamad. Tradisi musik gamad yang berawal dari tradisi musik Eropah, berkembang menjadi suatu tradisi musik baru yang membumi, karena berakulturasi dengan budaya lokal. Di daerah Pesisir Selatan, tumbuh tradisi barabab, yang merupakan hasil akulturasi budaya setempat dengan musik Barat biola. Sedangkan di Pariaman, yang secara historis dikenal sebagai daerah tempat masuknya agama Islam, tumbuh dan berkembang tradisi kesenian yang bernuansa Islam, seperti baindang dan gandang tambua yang digunakan untuk musik ritual tabut. Bentuk-bentuk tradisi kesenian yang ada di daerah pesisir tersebut, meskipun ada namun tidak banyak ditemukan di daerah pedalaman (darek).
Inilah beberapa gambaran umum dari tradisi kesenian Minangkabau, yang dalam beberapa dekade terakhir telah memperlihatkan dinamika dan perkembangan yang menarik sebagai bahan telaah yang bersifat antropologis.

Bagurau dalam Masyarakat Minangkabau
Bagurau sebagai bentuk seni pertunjukan dalam masyarakat Minangkabau, tidaklah diketahui secara pasti kapan digunakan sebagai istilah pertunjukan. Sampai saat ini belum ditemukan hasil penelitian yang mengkaji asal-usul munculnya kata bagurau sebagai istilah pertunjukan. Namun yang pasti, istilah ini muncul dari tradisi budaya masyarakat Minangkabau, yakni tradisi budaya lisan yang merupakan salah satu ciri khas kebudayaan Minangkabau. Tradisi bercakap-cakap atau budaya bercerita dalam suasana yang akrab, sindir-sindiran melalui ungkapan-ungkapan bahasa yang tajam merupakan kebiasaan yang sudah umum dan dikenal luas dalam masyarakat Minangkabau.
Kebiasaan masyarakat Minangkabau untuk berkumpul bersama sambil bercerita dan bercanda, dengan tema-tema pembicaraan yang saling sindir-menyindir, bahkan juga bisa saling mencimeeh (mencemooh), dalam suasana yang dialogis dan akrab, menyebabkan masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang suka dan pintar bicara.
Kebiasaan berkumpul ini sekarang banyak ditemukan di tempat-tempat umum, dan yang paling banyak dijadikan tempat berkumpul ini adalah lapau kopi (kedai kopi). Di hampir seluruh pelosok Sumatra Barat, yang mayoritas penduduknya Minangkabau, akan kita temukan banyak kedai kopi, yang pada saat-saat tertentu, terutama pada sore dan malam hari ramai dikunjungi. Pengunjung umumnya adalah kaum laki-laki.
Pengertian yang hampir sama dengan istilah kata bagurau adalah berhandai-handai, yang kemudian juga ikut membentuk tradisi kesenian di Minangkabau., yakni barandai . Barandai sebagai salah satu bentuk kesenian Minangkabau, juga berarti sebagai tradisi bercakap-cakap atau berandai-andai dalam suasana yang intim dengan menggunakan ibarat, kias, pantun, pepatah-petitih. Orang-orang-orang yang bercakap dengan penuh keintiman dinamakan berhandai-handai. Dari ihwal inilah lahir kata kerja barandai, suatu kesenian teater yang khas Minangkabau .
Kalau dilihat proses awal berkembangnya barandai di Minangkabau, yang merupakan hasil kebiasaan masyarakat untuk melakukan dialog dengan menggunakan bahasa ibarat, pantun, kiasan dan pepatah-petitih, tampaknya tradisi ini juga ikut mempengaruhi berkembangnya pertunjukan bagurau saluang dan dendang. Sebab syair-syair yang didendangkan merupakan pantun-pantun yang penuh ibarat, kiasan dan pepatah-petitih. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, istilah bagurau ataupun barandai dalam tradisi budaya masyarakat Minangkabau, merupakan suatu tradisi keseharian atau merupakan suatu konsep sosial yang hidup dalam diri orang Minangkabau.
Dari beberapa penjelasan ini, maka kata bagurau dapat diartikan sebagai suatu konsep masyarakat Minangkabau untuk menyebut suatu kegiatan sekelompok orang yang bermain, berkelakar, atau menceritakan sesuatu di antara sesama dalam suasana keakraban . Jadi kata bagurau pada awalnya bukanlah suatu konsep pertunjukan, tetapi merupakan konsep kehidupan keseharian yang ada dalam masyarakat Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilinial dengan konsep komunal (kekeluargaan) yang kuat, mungkin merupakan salah satu faktor pendorong munculnya konsep bagurau sebagai konsep sosial, yang kemudian berkembang menjadi konsep pertunjukan saluang dan dendang. Artinya, bagurau sebagai suatu konsep sosial telah menjadi sumber terbentuknya suatu konsep seni pertunjukan, sehingga istilah bagurau sebagai suatu konsep sekarang ini lebih cenderung dipahami oleh masyarakat sebagai kegiatan pertunjukan bagurau saluang dan dendang .
Jadi pengertian bagarau sebagai bentuk seni pertunjukan saluang dan dendang, sama seperti apa yang dikatakan Yunus, bahwa pertunjukan bagurau saluang dan dendang selalu diasosiasikan dengan bagurau, karena pelaksanaannya selalu melibatkan penonton. Pemain dan penonton sama-sama aktif. Mereka berbaur di tempat pertunjukan dalam suasana kebersamaan . Maksud dari pernyataan Yunus ini adalah, bahwa dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang keakraban dan keintiman yang ada dalam konsep bagurau masyarakat Minangkabau terlihat di dalam kegiatan pertunjukan ini.
Konsep pertunjukan inilah yang kemudian memberikan arti pada seni pertunjukan sebagai suatu pengalaman bersama, dimana penonton dan pemain saling dapat berhubungan. Bentuk seni pertunjukan tradisional di Indonesia pada dasarnya termasuk golongan seperti ini, yaitu di mana bisa terjadi percakapan antara pemain dan penonton, bahkan juga pemain swaktu-waktu bisa masuk di antara penonton, dan penonton bisa ikut bermain .

Bentuk dan Struktur Pertunjukan Bagurau
Pertunjukan bagurau saluang dan dendang merupakan sebuah pertunjukan musikal yang dipadukan dengan kekuatan pantun-pantun yang didendangkan dengan iringan alat musik saluang. Alat musik saluang termasuk klasifikasi jenis seruling (flute) dengan teknik memainkannya yang lebih khusus yakni ditiup dari bagian ujungnya (end-blow flute). Fungsi alat musik saluang adalah untuk mengiringi dendang-dendang yang berisi pantun-pantun yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Pertunjukan bagurau saluang dan dendang sebagaimana lazimnya kesenian rakyat, bentukya sederhana, dan tidak menuntut persyaratan-persyaratan artistik pemanggungan yang rumit. Pada dasarnya pertunjukan bagurau saluang dan dendang ini bisa dimainkan di mana saja, dan yang lebih diutamakan adalah bentuk pertunjukan yang dapat akrab (dialogis) dengan penontonnya.
Lagu-lagu yang dimainkan ratusan banyaknya, dan dalam tradisi bagurau, hanya lagu pertama dan terakhir saya yang ditetapkan. Lagu Singgalang, yang memiliki puluhan judul lagu, akan dinyanyikan sebagai lagu pembuka, yang isi pantunyanya sebagai berikut:
SINGGALANG
(Lagu pembukaan) (Terjemahan)
Cupak panuah gantang balanjuang Cupak penuh membubung
Ka cupak urang ka tigo luhak Cupak orang tiga luhak
Jatuah ka Alam Minangkabau Jatuh ke alam Minangkabau
Hanyo sambah salam dianjuang Hanya salam sembah dianjung
Rila jo maaf kami mintak Rela dan maaf kami minta
Ukua jo jangko kok talampau Jika ada ukuran yang terlampau

Baringin di Pakan Akaik Baringin di pakan akaik
Di laman kantua nagari Di dalam kantor nagari
Dek yakin awak baniak Karena yakin kita berniat
Bagurau juo samalam kini Bagurau juga malam ini

Setelah lagu ini dinyanyikan, biasanya penonton akan memintak lagu kesukaannya, dan jika belum ada permintaan, maka seniman saluang akan memilih sendiri lagu yang akan mereka nyanyikan. Ada ratusan judul lagu saluang yang bisa dinyanyikan sepanjang malam. Mulai dari lagu-lagu yang bernada gembira dan menghibur, sampai dengan lagu-lagu yang bernada sedih dengan pantun-pantun yang penuh dengan ratapan. Namun pada akhirnya, sesaat sebelum pertunjukan bagurau saluang dan dendang berakhir, lagu terakhir yang akan dinyanyikan adalah lagu penutup yang disebut dengan Jalu-jalu, yang isi syairnya seperti di bawah ini.
JALU-JALU

Pukua ampek dek lah datang Karena sudah pukul empat
Jalau-jalu sobaik iko sajo Jalu-jalu didendangkan
Awak baniyaik marantang panjang Kita berniat berlama-lama
Tuan baniyaik mangusuiknyo Tuan berniat memutuskannya

Batu merah ambiak panembok Batu merah diambil penutup
Panembok sumua tampek mandi Penembok sumur tempat mandi
Barila-rila mangko ka elok Saling merelakan makanya baik
Ibraik urang bajua bali Seperti orang jual beli

Mandaki kito mandaki Mendaki kita mendaki
Nan kalua ka jalan gadang Yang keluar ke jalan besar
Gurau di siko dulu habisi Acara di sini diakhiri
Di lain hari nak kito ulang Di lain hari kita ulang

Setelah pendendang menyanyikan pantun terakhir ini, artinya pertunjukan bagurau saluang dan dendang sudah berakhir, dan secara otomatis penonton akan bubar. Sebuah pertunjukan bagurau saluang dan dendang biasanya ditampilkan dalam suatu kelompok, dan minimal anggotanya tiga orang, dengan satu orang peniup saluang dan dua orang pendendang. Keharusan menimal dua orang pendendang dalam setiap kelompok pertunjukan, antara lain disebabkan oleh pertunjukan yang cukup panjang yakni sekitar tujuh jam, serta untuk memberikan kesempatan secara bergantian pada masing-masing pendendang memikirkan atau berimprovisasi dengan pantun-pantun yang akan mereka dendangkan. Semakin banyak pendendang, akan semakin memudahkan setiap pendendang menyusun, merancang dan merespon setiap reaksi spontan dari penonton melalui pantun-pantun yang akan mereka dendangkan.
Sepanjang penelitian berlangsung, pertunjukan bagurau saluang dan dendang seluruh senimannya bermain sambil duduk, dengan membentuk pola setengah lingkaran. Kalau mereka mengadakan pertunjukan di atas panggung, sejauh masih ada tempat, penontonnya juga boleh ikut duduk di atas panggung. Kalau bermain di dalam rumah, semua orang akan duduk bersama, dan biasanya akan mengelilingi para seniman pertunjukan bagurau saluang dan dendang ini. Namun ada juga pertunjukan bagurau saluang dan dendang yang dilakukan sambil berjalan untuk mengiringi prosesi upacara perkawinan. Para seniman saluang ini diminta untuk mengiringi mempelai sambil meniup saluang dan berdendang. Namun bentuk pertunjukan ini sangat jarang terjadi, dan hanya ada di dua atau tiga tempat di Sumatra Barat.
Struktur atau urutan pertunjukan bagurau saluang dan dendang juga cukup sederhana. Kalau pada pertunjukan bagurau saluang dan dendang yang bukan pada pertunjukan untuk mengumpulkan dana (alek nagari), pertunjukan ini nyaris tanpa ada sambutan dan pidato. Biasanya setelah tuan rumah mempersilakan para seniman saluang dan dendang untuk memulainya, maka mereka akan mulai mengadakan pertunjukan. Dalam tradisi pertunjukan bagurau saluang dan dendang, tampaknya hanya ada dua judul lagu yang harus dinyanyikan sebagai lagu pembuka dan lagu penutup. Lagu pembukanya adalah lagu Singgalang dan lagu penutupnya adalah Jalu-jalu. Sedangkan dalam pertunjukan alek nagari, biasanya sebelum pertunjukan bagurau saluang dan dendang dimulai, akan ada sambutan dari tuan rumah serta pengantar dari Janang, yang berisi tentang aturan atau tatacara pertunjukan bagurau saluang dan dendang akan dilaksanakan.
Dalam dunia pertunjukan bagurau saluang dan dendang meskipun tidak ada suatu aturan tertulis, tetapi tampaknya para peminat pertunjukan ini seperti menyadari adanya suatu konvensi tentang struktur pertunjukan ini. Misalnya, apabila seniman saluang telah menyanyikan lagu Jalu-jalu, maka dengan sendirinya mereka akan membubarkan diri.
Dari pengamatan lapangan, yang cukup menarik adalah adanya struktur pertunjukan yang memberikan tempat untuk semua generasi. Pada paro malam pertama yakni antara pukul 21.00 sampai dengan pukul 24.00, biasanya jenis lagu-lagu yang dimainkan atau yang dimintak penonton adalah lagu-lagu yang gembira, menghibur dan pantun yang dinyanyikan pantun muda . Setengah malam pertama ini pertunjukan Bagurau saluang dan dendang diperuntukkan bagi para penonton muda.
Sedangkan paro malam kedua yakni sekitar pukul 24.00 hingga dengan pukul 04.00, lagu-lagu yang ditampilkan adalah jenis lagu ratapan yang disebut lagu ratok . Nada-nada yang dihasilkan pertunjukan Bagurau saluang dan dendang memang terdengar seperti meratap, dan lagu-lagu inilah yang dianggap sebagai lagu klasik (tradisi) dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang . Biasanya penonton yang hadir pada paroh malam kedua ini, adalah penonton yang sudah berumur relatif tua dan merupakan penonton yang serius, yang disebut dengan pencandu gurau .
Bentuk dan struktur pertunjukan di atas umum digunakan pada pertunjukan bagurau saluang dan dendang, kecuali pada pertunjukan untuk mengumpulkan dana (alek nagari). Pada pertunjukan bagurau saluang dan dendang alek nagari, biasanya didahului dengan pidato dari pihak tuan rumah. Dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang alek nagari ini, ada satu lagi figur yang sangat penting selain dari seniman saluang, yakni yang disebut dengan Janang . Janang berfungsi sebagai orang yang akan mengatur irama pertunjukan, sehingga bisa berjalan dengan semarak dan hidup. Seorang Janang yang bagus akan dapat menghimpun dana masyarakat yang lebih besar melalui sumbangan yang diberikan penonton.
Tugas utama seorang Janang – mungkin agak mirip dengan master of ceremony--- adalah memilih dan membacakan kertas-kertas pesanan lagu yang dibuat oleh penonton. Selain menyebutkan apa lagu yang diminta, siapa yang meminta, Janang juga biasanya membacakan jumlah sumbangan yang diberikan. Tidak jarang dari kertas-kertas pesanan, yang sebelumnya dibagikan panitia pelaksana pada penonton, selain menuliskan nama lagu juga ada pantun-pantun, yang ditujukan pada kelompok tertentu yang hadir dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang tersebut. Kadang-kadang Janang juga memberikan tambahan dengan maksud agar pertunjukan berjalan dengan dinamis.

Fungsi Pertunjukan
Jawaban peminat seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang, tujuan mereka melihat pertunjukan ini, didapat jawaban yang cukup beragam. Ada yang mengatakan untuk membina hubungan silaturahmi, untuk pergaulan, dan ada yang menjawab untuk mendengarkan pantun-pantun yang didendangkan, ada pula yang mengatakan mencari hiburan dan lain sebagainya.
Dari berbagai jawaban yang beragam ini tampaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan Umar Kayam , bahwa daya tarik pertunjukan rakyat terletak pada kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok. Kemampuan pertunjukan bagurau saluang dan dendang dalam hal pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok ini tampak demikian kuat, sehingga mampu membentuk suatu komunitas tersendiri di dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Minangkabau.
Lebih jauh Andar Indra Sastra merumuskan ada sembilan fungsi pertunjukan bagurau saluang dan dendang , yakni: (a) forum dialog estetis; (b) sarana komunikasi; (c) fungsi ekspresi emosi; (d) sarana pengintegrasian masyarakat; (e) sarana kesinambungan kebudayaan; (f) fungsi ekonomi; (g) pembelajaran budaya; dan (h) sarana memunculkan konflik.
Banyak fungsi lain yang dapat dikemukakan, karena begitu kompleknya hubungan antara pertunjukan bagurau saluang dan dendang dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Minangkabau. Namun yang terpenting dari berbagai fungsi tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang, tradisi budaya Minangkabau, diteruskan sebagai warisan budaya yang penting, meskipun terjadi perubahan yang cukup signifikan.


Penonton Pertunjukan
Penonton pertunjukan bagurau saluang dan dendang cukup beragam dan bervariasi. Selain terdapat perbedaan umur mulai dari anak-anak sampai orang tua, juga terdapat variasi jenis kelamin. Pada tempat tertentu dapat ditemukan penonton perempuan dengan jumlah yang cukup banyak, tetapi pada tempat lainnya, nyaris tidak ditemukan perempuan yang sengaja datang untuk menonton.
Pada umumnya penonton pertunjukan bagurau saluang dan dendang dapat dikelompokan ke dalam dua kategori, yakni kelompok penonton yang datang dari luar wilayah tempat pertunjukan dilaksanakan dan kelompok kedua, masyarakat atau penduduk setempat. Penonton pertunjukan bagurau saluang dan dendang yang datang dari luar pada umumnya datang secara berkelompok, dan masing-masing kelompok sudah memiliki nama, yang disebut dengan nama kelompok pagurau . Namun juga ada yang datang secara individual. Di samping itu, penonton pertunjukan bagurau saluang dan dendang yang datang, juga bisa dibedakan dari status sosial-ekonomi. Meskipun jumlahnya tidak banyak, ada beberapa penonton pertunjukan bagurau saluang dan dendang yang kelihatan secara fisik berasal dari kelompok ekonomi kelas menengah, karena antara lain ditandai dengan pakaian mereka, serta datang dengan mobil pribadi yang cukup bagus.
Kelompok-kelompok penonton yang datang secara berombongan, terutama yang datang dari luar desa tempat pertunjukan berlangsung, akan mudah dikenal dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang alek nagari (pertunjukan untuk pengumpulan dana). Masing-masing kelompok ini akan menuliskan permintaan lagu melalui kertas yang disediakan panitia pelaksana, dan kertas ini kemudian akan dibacakan oleh Janang, yang biasanya akan membacakan dengan memberikan tekanan tertentu, sehingga diharapkan akan terjadi interaksi yang bersifat dialogis antara sesama penonton dan seniman pertunjukan bagurau saluang dan dendang.
Sejak akhir tahun 1970-an, sebetulnya sudah banyak nama-nama kelompok peminat pertunjukan bagurau saluang dan dendang yang telah muncul, tetapi tidak semuanya bertahan, dan kelompok baru selalu muncul. Sejak sepuluh tahun terakhir cukup banyak kelompok-kelompok peminat pertunjukan bagurau saluang dan dendang ini yang muncul.

Perkembangan Pertunjukan Bagurau
Kapankah kegiatan basaluang dan badendang muncul sebagai bentuk tontonan kesenian? Sampai saat ini tidak ada data atau informasi yang dapat memberikan jawaban pasti. Dari penelitian lapangan sekurang-kurangnya ada tiga tahap (periode) perkembangan tradisi musik saluang dan dendang yang dapat dicatat, yakni: Pertama, adalah periode ketika musik saluang dan dendang masih merupakan kegiatan intern dari anak-anak muda di nagari-nagari Minangkabau. Mereka hanya mempelajari dan memainkan musik ini sebatas kebutuhan lingkungan mereka sendiri. Kedua, adalah periode ketika musik ini mulai memasuki ruang publik dalam pengertian sebagai sebuah tontonan. Periode ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang di pasar-pasar di berbagai kota di Sumatra Barat, yang disebut dengan pertunjukan bagurau di kaki lima. Ketiga, adalah periode ketika musik ini masuk ke dalam lingkungan rumah tangga, untuk mengisi berbagai kebutuhan upacara adat masyarakat Minangkabau, atau hanya sekadar memenuhi kebutuhan minat orang-orang yang menyenangi musik ini. Maksudnya adalah, bahwa kelompok seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang diundang untuk ikut merayakan atau meramaikan kegiatan upacara adat seperti perkawinan, sunat rasul, peresmian penghulu, ke rumah-rumah tempat upacara tersebut diadakan.
Pada periode pertama, kegiatan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang hanya dilakukan oleh pemuda-pemuda di kampung-kampung, dan itu pun masih terbatas pada lingkungan kecil mereka. Dari informasi dari salah seorang seorang peniup Saluang, yakni Katik Parau , sebelum tahun 1970 kegiatan basaluang awalnya hanya dilakukan di pondok-pondok di tengah sawah atau di ladang, karena waktu itu tidak boleh memainkan alat musik ini di tengah kampung. Pada masa itu, tidak ada perempuan yang berdendang, karena dilarang oleh alim ulama. Karena itu yang melakukan kegiatan basaluang menurut Katik Parau hanyalah anak-anak laki-laki. “Kegiatan basaluang di pondok-pondok di sawah atau di ladang, biasonyo lakukan tangah malam. Buliah dikecekan, basaluang di pondok-pondok ini untuak urang-urang nan baru baraja. Sasudah tu kami baru pindah ka tampek nan labiah rami di pondok rundo ,” (Kegiatan basaluang di pondok-pondok di sawah atau di ladang, biasanya kami lakukan tengah malam. Boleh dikatakan, basaluang di pondok-pondok ini adalah untuk orang-orang yang baru belajar. Setelah itu pindah dan mengadakan ke tempat yang lebih ramai seperti di pondok ronda), ujar Katik Parau.
Menurut pengamat kesenian Minangkabau, Hajizar, tradisi basaluang dan badendang memang muncul dari lingkungan anak laki-laki yang dalam masyarakat Minangkabau tradisional tidak tidur di rumah orang tuanya. Mereka biasanya tidur di surau atau pondok tandangan (rumah bujangan). Di sanalah kegiatan basaluang dan badendang ini dipelajari dan dimainkan. Awalnya bukanlah untuk kegiatan pertunjukan seperti sekarang, tetapi hanya sekadar untuk mengisi waktu dan hiburan. Tradisi musik ini lebih merupakan media komunikasi antara anak muda laki-laki di nagari-nagari Minangkabau .
Kemudian barulah kegiatan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang pindah ke kaki lima, sebagai tahap atau periode kedua dari pertunjukan basaluang dan badendang. Dari berbagai informasi yang didapati di lapangan, kegiatan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang di kaki lima sudah dimulai sejak awal tahun 1960-an. Meskipun seperti yang diceritakan Katik Parau, sebelum tahun 1970 kegiatan basaluang dan badendang masih terbatas di lingkungan pemuda di kampung-kampung, namun di daerah perkotaan tampaknya, kegiatan ini telah berkembang secara komersial.
Dari berbagai informasi lapangan yang ditemukan, kelihatan kegiatan pertunjukan bagurau saluang dan dendang sebagai kegiatan tontonan untuk umum, yang mulai bersifat komersial, tampaknya dimulai tahun 1960-an. Sebanya adanya dorongan dari situasi ekonomi yang sulit pada waktu itu, setelah terjadinya pergolakan daerah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) . Alasan kesulitan ekonomi ini tampaknya cukup masuk akal. Situasi daerah Sumatra Barat pasca pemberontakan PRRI, secara ekonomi memang mengalami krisis yang cukup parah.
“Kehancuran yang dialami Sumatra Barat, akibat pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bukan hanya meluluh-lantakan kehidupan politik dan mental masyarakat, tetapi juga menimbulkan kemiskinan yang merata di tengah rakyat. Ekonomi boleh dikatakan sangat morat-marit, karena selama pemberontakan berlangsung (1958-1961-pen) hampir semua sarana dan prasarana ekonomi hancur. ”
Kondisi daerah Sumatra Barat sejak tahun 1961 memang dalam keadaan yang merana. Kesulitan ekonomilah yang kelihatannya menjadi pendorong berbagai perubahan dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Sumatra Barat. Hal ini terlihat dengan jelas dalam perkembangan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang. Sejak awal tahun 1960-an tersebut seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang berkembang dan mencapai puncaknya sampai akhir sekarang.
Peranan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang di kaki lima ini bukan saja sebagai tempat mencari uang bagi seniman-seniman saluang dan dendang ini, tetapi juga tempat belajar dari banyak pendendang perempuan yang kini menjadi pendendang terkenal di Sumatra Barat. Sebutlah nama-nama seperti Mis Ramolai, Mel Rasani, Upiak malai dan sederetan nama lainnya, pada umumnya belajar berdendang di kaki lima ini. Bahkan bukan hanya pendendang, tetapi juga tukang saluang seperti Katik Parau, salah seorang pemain saluang yang sangat baik, juga mulai mengembangkan kemampuannya di kaki lima ini.
Memang tidak semua seniman saluang dan pendendang yang berkembang melalui kegiatan perunjukan di kaki lima ini. Bahkan ada yang menolak kaki lima sebagai tempat mereka bermain. Ajis Sutan Sati adalah seorang contoh seniman saluang yang sangat menentang kegiatan pertunjukan saluang dan dendang di kaki lima ini. Menurut Ajis Sutan Sati, berdendang di kaki lima sama dengan merendahkan martabat dan harga diri sebagai seniman, karena hampir mirip dengan mengemis . Begitu juga dengan Ani Ramadani, seorang pendendang yang menjadi informan kunci dalam penelitian saya ini.
Ajis Sutan Sati dan Ani Ramadani, yang boleh dikatakan pendendang yang cukup senior, sejak awal tahun 1970-an lebih banyak mengadakan kegiatan saluang dan dendang melalui siaran radio, dan rekaman piringan hitam, dan kemudian berlanjut kepada rekaman kaset. Ajis Sutan Sati dapat dikatakan sebagai seniman yang mempopulerkan salaung dan dendang kepada masyarakat Minangkabau secara luas melalui radio dan media rekaman.

Perempuan dan Pertunjukan Bagurau
Perubahan yang paling menonjol dalam perkembangan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang adalah tampilnya kaum perempuan sebagai pendendang. Mereka lebih mendominasi kegiatan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang sekarang ini. Posisi pendendang laki-laki yang pernah mendominasi sampai akhir tahun 1970-an, tampaknya telah diambil alih oleh pendendang perempuan, baik dalam pengertian kualitas maupun kuantitas.
Kelihatannya, pendendang perempuan inilah yang menjadi salah satu daya tarik utama dari seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang. Berbeda sekali kondisinya dengan sebelum tahun 1960-an, perempuan ditabukan bahkan sangat ditentang untuk tampil dalam kegiatan pertunjukan yang sifatnya tontonan. Perkembangan pertunjukan bagurau saluang dan dendang tampaknya sekaligus merefleksikan atau menggambarkan, bagaimana sebuah perubahan sosial terjadi di Minangkabau.
Kegiatan kesenian dalam masyarakat Minangkabau umumnya, dan kegiatan pertunjukan bagurau saluang dan dendang khususnya, sebelum tahun 1960-an, kaum perempuan ditabukan, bahkan oleh berbagai kalangan masyarakat Minangkabau dianggap haram untuk ikut dalam kesenian ini. Karena itu dalam kesenian tradisional Minangkabau, seperti teater rakyat randai, harus mendandani laki-laki untuk memainkan peran perempuan, yang disebut bujang gadih .
Larangan atau halangan untuk perempuan tampil sebagai seniman pertunjukan ini, dari berbagai informasi yang dihimpun di lapangan, ada dua alasan pokok yang ditemukan. Pertama, disebabkan oleh kuatnya kontrol sosial dari sistem keluarga matrilinial, di mana mamak (paman) atau penghulu dalam suatu kaum sangat melarang keras anggota keluarga perempuan mereka untuk ikut dalam kegiatan kesenian tersebut. Selain itu, juga dihalangi oleh pandangan dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Minangkabau, yang dianggap sebagai pimpinan moral seperti yang disimbolkan oleh ketokohan Bundo Kanduang. Kedua, adalah berdasarkan hukum Islam yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau. Bahkan pada kelompok tertentu ada yang menganggap bahwa nyanyian perempuan bisa dianggap “haram” kalau didengar oleh orang yang bukan muhrimnya.
Kalau dilihat hubungan antara agama Islam dan budaya (adat), sebagaimana yang diungkapkan dasar falsafah Minangkabau, “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah”, mungkin dapat dipahami kenapa perempuan dibatasi bahkan dilarang tampil dalam kegiatan seni pertunjukan untuk publik. Meskipun dalam prakteknya, sebetulnya tidaklah sekaku tersebut, karena dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau, tetap ada kegiatan-kegiatan kesenian yang didukung oleh kaum perempuan. Kegiatan pertunjukan perempuan tersebut, haruslah dalam konteks kehidupan adat, atau bagian dari kegiatan upacara adat Minangkabau itu sendiri. Kalau sudah tidak lagi dalam acuan adat Minangkabau tersebut . Bahkan Buya Hamka sebagai salah seorang ulama besar Minangkabau yang menyenangi seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang, pernah mengatakan bahwa boleh atau tidak menonton seni pertunjukan bagurau, sangat tergantung pada niat orang yang menonton. Kalau niatnya benar tidak salah menurut pandangan agama Islam .
Hadirnya pendendang perempuan dari generassi tahun 1960-an sampai sekarang, yang melawan tradisi masyarakat yang membatasi perempuan untuk aktif di dalam seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang, secara jelas memperlihatkan peranan perempuan pendendang membentuk suatu kenyataan sosial yang baru melalui seni pertunjukan. Tanpa perempuan pendendang yang keluar dari tradisi, mungkin pertunjukan bagurau saluang dan dendang tidaklah berkembang seperti sekarang. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pendendang perempuanlah yang telah melakukan sebuah perubahan dan inovasi sosial melalui kegiatan mereka mengembangkan kehidupan pertunjukan bagurau saluang dan dendang di Minangkabau.

Kesimpulan
Dari kasus perkembangan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang ini saja, sebetulnya telah dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa telah terjadi perubahan sosial dalam masyarakat Minangkabau. Perubahan dapat dikatakan berlangsung secara paralel dengan perkembangan pertunjukan bagurau saluang dan dendang itu sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang pendapat Ahimsa Putra, bahwa:
“Kesenian sebagai suatu gejala sosial yang muncul dalam konteks tertentu dapat kita hubungkan atau memiliki hubungan dengan berbagai fenomena lain dalam masyarakat. Kesenian dapat kita kaitkan dengan situasi atau aktivitas politik, dengan ekologi, dengan berbagai perubahan yang tengah terjadi .”

Sebelum seni pertunjukan bagurau menjadi pertunjukan yang profesional untuk publik yang terbuka, masyarakat pendukungnya boleh dikatakan homogen dengan tingkat mobilitas yang rendah sesuai dengan karakteristik masyarakat agraris. Setelah seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang berkembang menjadi pertunjukan yang profesional, maka masyarakat Minangkabau, terutama yang meminati pertunjukan, adalah masyarakat Minangkabau yang lebih heterogen dengan tingkat mobilitas yang tinggi. Bahkan lebih jauh dapat dikaitkan dengan perubahan tatanan ekonomi masyarakat Minangkabau sendiri.
Sebelum tahun 1960, boleh dikatakan basis ekonomi masyarakat Minangkabau, terutama di pedesaan tempat tradisi basaluang dan badendang ini tumbuh, masih dominan ekonomi agraris. Setelah tahun 1960-an, setelah pertunjukan bagurau berkembang secara lebih profesional, maka sebetulnya basis ekonomi masyarakat Minangkabau sudah mulai bergerak kepada ekonomi modern. Hal ini antara lain dapat dilihat dari perjalanan dan perjuangan hidup dari para pendendang perempuan pendendang itu sendiri, yang ingin keluar atau meninggalkan tradisi ekonomi agraris (pertanian) dan masuk atau memilih sektor jasa yang jelas merupakan bagian dari kegiatan ekonomi modern.
Dengan demikian perkembangan seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Minangkabau, secara teoretis dapat mewakili suatu proses perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau.
Dalam konteks seni pertunjukan bagurau tampaknya faktor pendorong tersebut dipengaruhi oleh faktor internal, yakni situasi ekonomi daerah Sumatra Barat yang mengalami krisis pada awal tahun 1960-an, akibat terjadinya pergolakan daerah, sehingga memaksa seniman-seniman tradisional saluang dan dendang “menjual” kemampuannya dengan mengadakan pertunjukan di kaki lima diberbagai kota di Sumatra Barat. Dari titik inilah kemudian seni pertunjukan bagurau berkembang, dengan pengaruh dari berbagai perkembangan seni dan media pertunjukan yang datang dari luar, sehingga mencapai bentuknya seperti sekarang.
Sedangkan munculnya pendendang perempuan dalam seni pertunjukan bagurau saluang dan dendang, penyebabnya lebih dipengaruhi oleh perubahan posisi dan peranan dalam sistem keluarga matrilineal Minangkabau. Munculnya pendendang perempuan dalam seni pertunjukan bagurau, berdasarkan data lapangan yang didapatkan, antara lain disebabkan melemahnya kontrol sosial dari kepemimpinan keluarga matrilinial.
Tidak berfungsinya atau melemahnya kontrol sosial atas keluarga matrilineal Minangkabau oleh mamak (MB), dapat disebut sebagai suatu gejala pokok dari perubahan sosial dan struktur masyarakat di Minangkabau. Sebab dalam kehidupan masyarakat tradisional, seorang mamak sangat penting peranannya, dan sangat kuat otoritasnya terhadap seorang kemenakan (ZC) seperti diungkapkan pepatah adat Minangkabau; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, nan bana badiri sandirinyo (kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja kepada mufakat. Mufakat beraja kepada yang benar, yang benar berdiri sendirinya).
Kecenderungan melemahnya peranan mamak dan menguatnya peranan orang tua, dalam hal ini bapak, tampaknya menjadi gejala perubahan dalam masyarakat Minangkabau. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Sairin, yang menggunakan konsep model Geertz, yang menggambarkan hubungan antara mamak (MB) dan kemenakan (ZC) adalah hubungan saling mengikat. Dalam konsep ini, mamak berkewajiban mendidik kemenakan sampai ia menjadi “orang” dan untuk itu kemenakan dikehendaki untuk mematuhi segala nasehat dan arahan yang dilakukan oleh mamak .
Sairin melihat, ternyata ajaran adat itu secara evolutif mengalami berbagai perubahan. Hubungan mamak dan kemenakan semakin melonggar, sedangkan hubungan bapak dengan anak semakin kuat. Perubahan ini diikuti pula dengan semakin berkurangnya peranan extended family dalam rumah tangga Minangkabau, lalu kecendrungan untuk hidup dalam bentuk nuclear family semakin meningkat . Perubahan dalam sistem keluarga matrilinial ini kelihatannya merupakan suatu gejala utama yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau, yang dapat disimpulkan bahwa memang telah terjadi perubahan sosial di Minangkabau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar