Pembentukan Panja Mafia Pemilu DPR RI
Abstrak
Komisi II DPR RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu yang beranggotakan 25 orang. Terbentuknya Panja ini berawal dari munculnya kasus pemalsuan dokumen Mahkamah Konstitusi (MK). Pemalsuan tersebut terkait dengan sengketa kursi DPR di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Implikasi pemalsuan tersebut, menyebabkan perbedaan penetapan kursi antara KPU dan MK.
Dalam putusannya MK menetapkan Mestariyani Habie dari Partai Gerindra sebagai pemenang. Namun, KPU dalam rapat pleno yang dipimpin Andi Nurpati telah menetapkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura yang memperoleh kursi di DPR.
Hasil kerja Panja diharapkan bisa memperbaiki sistem pemilu, juga memberikan masukan untuk penyempurnaan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dengan demikian diharapkan bisa terbentuk badan penyelenggara pemilu yang independen, efektif, efisien, profesional, bertindak cepat dan transparan.
Pengantar
Pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR pada Selasa,14 Juni 2011 lalu sejumlah anggota Komisi II DPR RI dari berbagai fraksi mendorong pembentukan Panja untuk mengungkap pemalsuan dokumen Mahkamah Konstitusi (MK). Panja DPR Pemalsuan Dokumen MK akhirnya resmi disepakati dengan nama Panja Mafia Pemilu.
Kesepakatan nama Panja ini dilakukan dalam rapat tertutup. Nama Panja Mafia Pemilu disepakati karena kasus yang hendak diungkap dinilai memang bisa mendekati pada kategori praktek mafia. Apabila terbukti, Panja kedepan akan mengusut terjadinya pemalsuan dokumen MK terkait penetapan perolehan kursi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009.
Panja Mafia Pemilu beranggotakan 25 orang. Fraksi Partai Demokrat yang semula tidak setuju karena lebih memilih jalur hukum, akhirnya menyetujui dengan catatan FPD meminta kasus dugaan kursi bermasalah di DPR tidak dipolitisasi.
Kasus Pemalsuan Dokumen Mahkamah Konstitusi
Kasus pemalsuan dokumen MK mencuat setelah Ketua MK mengungkap soal laporan pemalsuan keputusan MK ke Mabes Polri pada Februari 2010. Ketua MK Mahfud MD mendukung pembentukan Panja DPR untuk menuntaskan kasus pemalsuan surat MK dengan alasan proses hukum di kepolisian tidak jelas tindaklanjutnya.
Pemalsuan tersebut terkait dengan sengketa kursi DPR di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I antara caleg Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo, dan caleg dari Partai Gerindra, Mestariyani Habie.
Berdasarkan keterangan Abdul Hafiz Anshary pada RDP dengan Komisi II DPR, bahwa pada tanggal 21 Agustus 2009 telah diadakan rapat pleno KPU yang diketuai oleh Andi Nurpati karena Abdul Hafiz sedang berhalangan. Rapat pleno tersebut berpijak pada keputusan MK tertanggal 14 Agustus 2009 yang diketahui kemudian merupakan surat palsu. Berdasarkan surat palsu tersebut caleg Partai Hanura Dewi Yasin Limpo ditetapkan mendapat kursi di DPR.
Adapun surat asli dari MK tertanggal 17 Agustus 2009 bernomor 112/PAN.MK/VIII/2009 menetapkan bahwa yang mendapatkan kursi DPR adalah caleg dari Partai Gerindra yakni Mestariyani Habie. Surat MK tertanggal 17 Agustus ini tidak terungkap pada rapat pleno KPU itu. Ketua KPU Abdul Hafiz hingga pleno tanggal 21 Agustus 2009 tidak menerima surat MK tanggal 17 Agustus tersebut.
Andi Nurpati sempat menunjukkan surat putusan MK tertanggal 14 Agustus 2009 dalam rapat pleno tersebut, namun dalam bentuk kertas fax. Akan tetapi, setelah ditelusuri, ternyata surat dari MK tidak pernah diterima KPU melalui mesin fax. Bahkan nomor fax yang tercantum di surat tersebut ternyata berdasarkan keterangan dari PT Telkom sudah tidak aktif lagi.
Perwakilan dari Bawaslu yang hadir pada rapat pleno saat itu, Bambang Eka Cahya, sempat mempertanyakan keabsahan surat tertanggal 14 Agustus tersebut, karena berdasarkan salinan putusan MK yang didapatnya dengan men-download dari situs MK ada beberapa hal yang berbeda.
Bawaslu menyatakan keberatan kepada Andi Nurpati sebagai ketua rapat yang telah mengambil keputusan yang berbeda substansi dengan isi surat dari MK, namun keberatan Bawaslu tidak mendapat tanggapan.
Andi Nurpati diduga sebagai pihak yang memalsukan karena merupakan orang yang membawa fax yang dikatakan sebagai surat jawaban MK tanggal 14 Agustus. Padahal, Andi Nurpati juga yang menerima (melalui sopir pribadi) surat MK tanggal 17 Agustus yang ternyata tidak disampaikan ke rapat pleno tanggal 21 Agustus 2009.
Panja dan Harapan Hasil Kerjanya
Ketua MK Mahfud MD mengakui, pembentukan Panja DPR yang akan mendalami dugaan pemalsuan surat putusan pen-caleg-an oleh Andi Nurpati berpotensi membuka kasus lainnya.
Proses di Panja beresiko membuka kotak pandora. Sangat besar kemungkinan munculnya pertanyaan atas kasus-kasus lain diluar kasus pemalsuan dokumen MK yakni Surat MK ke KPU No. 112/PAN.MK/VII/2009.
Isu-isu yang dibahas Panja bisa liar dan mengarah pada masalah di luar ranah hukum, tapi bisa ke isu-isu yang bersifat politis. Jika masalah ini melebar dapat mengancam stabilitas politik.
Proses politik yang akan terjadi dalam Panja bisa memunculkan keraguan tentang keabsahan hasil Pemilu Legislatif 2009, sekaligus keabsahan anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Masalah sengketa Pemilu yang tidak terkait dengan keputusan MK bisa juga muncul dalam Panja tersebut.
Beberapa anggota Komisi II menyebutkan bahwa Panja akan mendalami kinerja KPU dalam penetapan kursi DPR di Pemilu 2009. Selain itu, Panja ini juga berusaha mengungkap keberadaan kursi bermasalah di parlemen. Mereka berharap selain untuk membongkar kecurangan pemilu, hasil dari kerja Panja juga akan digunakan untuk perbaikan sistem Pemilu.
Kerja Panja diperkirakan selesai sebelum RUU Penyelenggara Pemilu disyahkan, jadi hasil Panja bisa memberi masukan untuk penyempurnaan UU tersebut. Dengan harapan akan bisa mengunci agar tidak terulang modus seperti ini. Waktu pembahasan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu tidak terbahas perihal modus-modus mengakali kursi.
Pada awal kerja, Panja Mafia Pemilu mengundang Ketua MK Mahfud MD, karena dia sebagai pihak yang melaporkan kasus ini kepada polisi. Tim investigasi MK pun menjadi pihak yang sangat penting untuk menjelaskan kasus ini karena temuan dokumen palsu itu darinya. Ia menduga bahwa kasus Andi Nurpati ini hanya permukaan masalah.
Dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi II, Abdul Hakam Nadja, jika kasus ini terkuak, kasus serupa bisa muncul disana-sini. Artinya ada kemungkinan manipulasi perolehan kursi atau kursi haram di DPR hingga DPRD bisa saja terjadi dan mungkin jumlahnya banyak.
Arif Wibowo (anggota Komisi II dari F-PDIP) berpendapat sama. Ia mengatakan bahwa pengungkapan kasus pemalsuan dokumen yang melibatkan mantan anggota KPU, Andi Nurpati bisa jadi pintu masuk menguak keberadaan kursi haram di legislatif.
Panja ini akan bertugas menyusuri semua kursi ilegal di segala strata. Dan Panja akan mengecek semua data terkait rekapitulasi perhitungan perolehan suara yang disahkan KPU serta putusan MK yang asli. Namun begitu, kerja Panja diperkirakan akan mengalami kendala. Kendala tersebut antara lain disebabkan karena semua logistik dan data telah dilelang sehingga bisa menyulitkan kerja Panja.
Pelelangan itu didasarkan pada Peraturan KPU No. 75 Tahun 2009 yang disertai Peraturan Menteri Keuangan No. 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Pelelangan ini bertolak belakang dengan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pasal 8 ayat (4) huruf e yang menyatakan bahwa; KPU dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berkewajiban: e. "Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan." Dengan demikian, pelelangan yang dilakukan KPU telah melanggar UU.
Arif Wibowo menduga bahwa Peraturan KPU No. 75 Tahun 2009 memang sengaja dikeluarkan untuk menghapus kekacauan perhitungan perolehan Pemilu 2009.
Anggota Bawaslu Nur Hidayat Sardini mengatakan kasus pemalsuan surat MK tentang pemilihan legislatif tidak bisa dipidanakan. Alasannya kasus pidana pemilu harus sudah dilaporkan dan diselesaikan selambat-lambatnya lima hari sebelum penetapan pemilu nasional. Kalaupun ada indikasi Andi Nupati terlibat, menurutnya dia hanya bisa dilaporkan melanggar kode etik. Itu pun jika pemalsuan tersebut berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu.
Bercermin dari kesalahan ini, bagaimanapun kedepan KPU sebagai badan penyelenggara pemilu dituntut untuk menjadi suatu lembaga yang terpercaya. Kredibel tidaknya KPU, salah satunya ditunjukkan dengan rekam jejak para anggotanya. Kredibilitas badan penyelenggara pemilu akan terjaga apabila mengindahkan design dan cara bertindak, yakni:
pertama; independen dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh tunduk pada pihak manapun termasuk partai politik. Apabila ada anggota KPU bias dan berpihak dalam melakukan tugasnya, maka akan berdampak pada kredibilitas KPU, juga berdampak pada keseluruhan proses pemilu.
Kedua, efisiensi dan efektivitas. Efisiensi dan efektivitas penyelenggara pemilu tergantung pada beberapa faktor yakni; profesionalitas para staf, sumberdaya serta waktu yang memadai untuk menyelenggarakan pemilu dan melatih orang-orang yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya.
Ketiga, profesionalisme. Pemilu harus dikelola oleh kelompok khusus para ahli yang terlatih dan memiliki komitmen tinggi yang mengelola dan mempermudah proses pemilu serta merupakan karyawan tetap badan pelaksana pemilu.
Keempat; keputusan yang tidak berpihak dan cepat. Kerangka hukum harus membuat ketentuan tentang mekanisme untuk memproses, memutuskan, dan menangani keluhan dalam pemilu secara tepat waktu.
Kelima; transparansi. Kredibilitas menyeluruh dari suatu proses pemilu secara substansial tergantung kepada semua kelompok yang bersangkutan (termasuk partai politik, pemerintah, civil society, dan media) yang sadar akan dan ikut serta dalam debat yang mewarnai pembentukan struktur juga proses pemilu.
Penutup
Panja Mafia Pemilu yang dibentuk Komisi II DPR merupakan respon positif dan sigap menanggapi praktek yang menurut Ketua MK Mahfud MD sebagai kejahatan Konstitusi. Walaupun kerja Panja potensial bergulir kearah isu-isu diluar ranah hukum, namun hasil kerja Panja selain untuk membongkar kecurangan pemilu, diharapkan juga mampu menghasilkan perbaikan terhadap sistem pemilu dan pengaturan terkait penyelenggara pemilu.
Pengungkapan kasus pemalsuan dokumen yang melibatkan mantan anggota KPU, Andi Nurpati bisa jadi sebagai pintu masuk untuk menguak keberadaan kursi haram di legislatif. Panja ini akan bertugas menyusuri semua kursi ilegal di segala strata.
KPU telah melelang semua data dan logistik, hal ini telah melanggar UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Karena seharusnya KPU Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU. Pelelangan yang dilakukan KPU potensial menghambat kerja Panja.
Hasil kerja Panja diharapkan bisa memperbaiki kinerja KPU kedepan sehingga menjadi badan penyelenggara pemilu yang independen dan tidak berpihak, efektif dan efisien, profesional, bisa bertindak cepat dan transparan.
Rujukan
- UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
- IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Peninjauan Kembali Kerangka Hukum
Pemilu, Swedia, 2002
- “Komisi Politik Usut Kursi Haram di DPR,” Koran Tempo, 15 Juni 2011
- “DPR Bentuk Panja Kasus Nurpati,” Media Indonesia, 15 Juni 2011
- “Panja Resmi Terbentuk,” Indo Pos, 15 Juni 2011
“Bawaslu-KPU Ungkap Kursi Haram; DPR Bentuk Panja Pemalsuan Dokumen MK,” Repulika, 15
Juni 2011
- “Mahfud: Kasus Andi Kejahatan Konstitusi,” Seputar Indonesia, 15 Juni 2011
- “MK Khawatir Kasus Nurpati Lari ke Politik,” Bisnis Indonesia, 16 Juni 2011
- “Panja Minta Keterangan Mahfud MD,” Republika, 17 Juni 2011
- “DPR Beri Nama Panja Mafia Pemilu,” Pelita, 17 Juni 2011
- “Demokrat Bentengi Andi Nurpati,” Media Indonesia, 17 Juni 2011
- “DPR Menelusuri Kursi Tidak Sah,” Kompas, 17 Juni 2011
Penulis adalah, Siti Nur Solichah : Peneliti Madya Bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Setjen DPR RI,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar