Gambaran Umum Pembahasan ;
Dalam upaya mewujudkan negara yang maju dan mandiri serta masyarakat adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus peluang. Tantangan paling fundamental adalah upaya Indonesia untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta pemerataan pembangunan secara berkesinambungan. Untuk menjawab hal tersebut, diperlukan peningkatan efisiensi ekonomi, produktivitas tenaga kerja, dan kontribusi yang signifikan dari setiap sektor pembangunan.
Pembangunan sarana dan prasarana fasilitas umum tampak di utamakan pembangunan fisik berupa bangunan sehingga lahan pertanian perkebunan dan kehutanan terancam punah oleh kebijakan pemerintah dimasa sekarang.
Terkait dengan keseimbangan dan kesinambungan alam sktor agrobisnis dianggap sebuah pokok tujuan mebnagunan nasional dengan memberdayakan alam menjadi sumber kehidupan dimana mampu menghasilkan produktifitas yang siap memfasilitasi kebutuhan manusia menuju efektifitas program pembangunan nasional dalam era moderenisasi, sebuah antisipasi arus global yang mengarah kepada industry.
Melalui program pembinaan dan pengembangan sector pertanian dalam bentuk agrobisnis akan mampu menopang kebutuhan ektor industry berupa pemenuhan kebutuhan bahan baku yang akan di olah, namun dalam hal ini kita dihadapkan kepada masalah-masalah lahan yang tersedia semakin menipis sehingga kita banyak mengimport bahan baku untuk industry khusus bidang makanan siap saji seperti mie instan degan bahan dasarnya tepung terigu.
Efek Politik serta dampak yang ditimbulkan ;
Indonesia merupakan salah satu negara agraris dan maritim terbesar di dunia. Dengan potensi sumber daya dan daya dukung ekosistem yang sangat besar, Indonesia dapat menghasilkan produk dan jasa pertanian, perkebunan dan perikanan secara meluas (seperti bahan pangan, serat, bahan obat-obatan, dan agrowisata/ekowisata/wisata bahari) yang mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia.
Sementara itu, pertambahan jumlah penduduk dunia, kenaikan pendapatan dan perubahan preferensi konsumen telah menyebabkan permintaan terhadap produk dan jasa pertanian akan terus meningkat. Oleh karena itu, sektor pertanian, perkebunan dan perikanan mempunyai peranan yang semakin strategis saat ini dan di masa depan, baik secara ekonomis ataupun politis.
Dengan semakin meningkatnya permintaan produk dan jasa di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan secara global, sementara penawaran diperkirakan relatif konstan, maka secara ekonomis produk dan jasa pertanian, perkebunan dan perikanan akan menjadi kompetitif. Dalam hubungan internasional, produk pertanian, perkebunan dan perikanan (khususnya pangan) acapkali keluar dari ujudnya sebagai tradable goods untuk konsumsi, menjadi diplomatic goods untuk tujuan politis.
Food Weapon as apart of trade war sering digunakan oleh negara-negara besar terhadap lawan politiknya seperti embargo AS terhadap Kuba, Iran, Irak, dan Libia. Oleh karena itu, bagi negara berkembang seperti Indonesia, mencukupi kebutuhan sandang dan pangan bagi penduduknya berarti sekaligus memperkuat posisinya dalam percaturan politik internasional.
Dengan perkataan lain, stabilitas politik suatu negara tidak akan mudah tergoyahkan bila kondisi pangan dan sandangnya mapan. Tantangannya bagi sektor pertanian, perkebunan dan perikanan saat ini adalah menyikapi perubahan pada sisi permintaan yang menuntut kualitas yang tinggi, kuantitas yang besar, ukuran relatif seragam, ramah lingkungan, kontinuitas produk dan penyampaian produk secara tepat waktu.
Dari sisi penawaran yang berkaitan dengan produksi terdapat beberapa faktor yang harus dicermati, terutama masalah penurunan luas lahan produktif, perubahan iklim secara tidak menentu akibat fenomena El-Nino dan pemanasan global, adanya penerapan bioteknologi dalam proses produksi dan pascapanen, dan aspek pemasaran produk.
Untuk menjawab sejumlah tantangan ini, maka diperlukan perubahan mendasar dalam pembangunan pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional secara konseptual maupun operasional. Pada era globalisasi sekarang ini, daya saing tidak sepenuhnya bertumpu kepada upah buruh rendah dan sumber daya alam berlimpah, tetapi lebih ditentukan oleh penguasaan informasi, teknologi, dan keahlian manajerial.
Reformasi kebijakan pembangunan pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk di dalamnya untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penerapan hasil-hasil penelitian (iptek) menjadi suatu kebutuhan mendesak untuk segera dilaksanakan secara sistematis.
Potensi (supply capacity) Indonesia saat ini dengan luas baku sawah 8,23 juta ha dan wilayah teritorial laut seluas 5 juta km2, menunjukkannya menjadi salah satu negara agraris dan maritim terbesar di dunia. Karena itu, semestinya memiliki keunggulan komparatif untuk menjadi negara yang bukan saja dapat berswasembada pangan, tetapi juga dapat menjadi pengekspor utama berbagai produk dan jasa yang berasal dari industri pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk bahan pangan, papan, sandang (serat), obat-obatan, kosmetika, bioenergy, agrowisata/ekowisata/wisata bahari, dan bahan baku untuk berbagai industri hilir.
Dari sisi permintaan, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia dan peningkatan kualitas hidupnya, maka permintaan terhadap berbagai produk dan jasa tersebut akan berlipat ganda di masa-masa mendatang.
Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan juga dapat menyerap jumlah tenaga kerja paling banyak persatuan usaha dibanding sektor pembangunan lainnya. Sampai saat ini masih sekira 55% dari total tenaga kerja Indonesia berada di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Selain itu, karena sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan memiliki keterkaitan industri hulu dan hilir yang kuat serta beragam, maka sektor-sektor ini pun dapat menciptakan efek pengganda (multiplier effects) yang bisa menjadi tulang punggung dari pembangunan suatu wilayah.
Oleh karena sebagian besar kegiatan sektor pertanian berada di wilayah pedesaan dan pesisir yang dikerjakan oleh rakyat banyak, maka sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan juga dapat membantu mengatasi masalah urbanisasi kurang terdidik/terampil yang selama ini menjadi salah satu permasalahan nasional utama.
Dengan demikian, sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan sesungguhnya merupakan basis ekonomi kerakyatan yang harus agenda utama pembangunan nasional. Bahkan, di masa krisis ini pun sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan lah yang dapat menolong bangsa Indonesia keluar dari berbagai kesulitan sosial-ekonomi.
Hal ini berdasarkan pada fakta empiris, bahwa tiga permasalahan mendasar pada masa krisis, yaitu kekurangan sembako, menurunnya kesempatan kerja dan berusaha, sehingga banyak tenaga yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menurunnya perolehan devisa. Ketiga permasalahan besar tersebut ternyata dapat ditanggulangi melalui penguatan dan pemberdayaan agribisnis dan agroindustri. Kendati demikian, mengingat potensinya yang sedemikian besar, semestinya sektor pertanian dapat berkinerja lebih dari yang ada sekarang dan dapat berkontribusi secara lebih signifikan bagi pembangunan nasional.
Apabila pembangunan pertanian, perkebunan, dan perikanan dari mulai subsistem produksi, pascapanen (penanganan dan pengolahan hasil), sampai pemasaran dikerjakan secara profesional dan berbasis iptek, maka keunggulan komparatif yang dimiliki oleh ketiga sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan akan menjelma menjadi sebuah keunggulan kompetitif yang merupakan asset utama bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Keunggulan kompetitif ini hanya dapat terwujud jika lingkungan bisnisnya, yang meliputi kebijakan fiskal dan moneter, prasarana dan sarana, sistem hukum dan kelembagaan, dan SDM dan iptek, bersifat kondusif bagi tumbuh-suburnya usaha pertanian, perkebunan, dan perikanan secara efisien, produktif, dan berdaya saing tinggi.
Pola pembangunan pertanian, perkebunan dan perikanan semacam inilah yang diterapkan di negara-negara maju (Kanada, Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, Jepang, Australia, dan Selandia Baru), sehingga sektor-sektor ini menjadi salah satu pilar utama kemajuan, kemakmuran, serta kemandirian mereka.
Perlu kiranya diperhatikan bahwa tidak ada satupun negara maju dengan jumlah penduduk besar yang tidak didukung oleh industri pertanian (dalam arti luas, termasuk di dalamnya perkebunan, perikanan dan kehutanan) yang maju dan tangguh. Bahkan, sekira 45% dari total nilai ekspor AS hingga saat ini masih berasal dari produk dan jasa yang berbasis pada pertanian dalam arti luas tersebut.
Sebaliknya, bekas negara adidaya Uni Soviet mengalami keterpurukan pembangunan dan menjadi negara berkembang disebabkan antara lain oleh karena bangsa ini menomorduakan pembangunan sektor-sektor di atas.
Persoalannya adalah bahwa kinerja sektor pertanian di Indonesia terkesan terus mengalami penurunan ditinjau dari berbagai indikator keragaan (performance indicator). Tingkat pertumbuhan, kontribusi terhadap GDP, pendapatan (daya beli) petani/nelayan, perolehan devisa (nilai ekspor) dari sektor pertanian dan perkebunan misalnya, terus menurun dari tahun ke tahun.
Sementara itu, aliran impor berbagai produk dan komoditas pertanian dan perkebunan pun semakin membanjiri Indonesia seperti impor beras dan gula dengan dalih membantu petani. Berbeda dengan di negara-negara maju seperti diuraikan di atas, citra pertanian dan perkebunan di Indonesia justru seolah-olah simbol dari keterbelakangan.
Berbeda dengan sektor perikanan, produksi perikanan tangkap pada tahun 2000 sebesar 4.112.403 ton meningkat sebesar 2,55% dari tahun 1999 atau terus meningkat selama tahun 1990-2000 sebesar 4,89%. Namun demikian, peningkatan perikanan masih belum memberikan kontribusi yang besar bagi kesejahteraan nelayan secara umum yang hidup di wilayah pesisir.
Oleh karena itu, para elit politik dan otoritas ekonomi moneter harus lebih memerhatikan pertanian, perkebunan, dan perikanan seperti halnya mengedepankan sektor-sektor manufakturing berbasis non-pertanian (local resources) atau dengan muatan bahan baku impor yang sangat besar, properti, dan jasa perbankan.
Yang lebih meprihatinkan lagi adalah bahwa di tengah-tengah munculnya semacam kesadaran nasional, bahwa jika kita ingin keluar dari krisis ini kita harus kembali ke agribisnis dan agroindustri (back to basic), ternyata masih ada beberapa ekonom yang menyangsikan kesiapan dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan menjadi sektor unggulan dan kesungguhan pemerintah (otoritas keuangan dan ekonomi) dalam mendukung agribisnis dan agroindustri terkesan masih sekadar retorika.
Sinyalemen ini mulai diubah dengan menetapkan kebijakan-kebijakan baru, seperti membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun di lain pihak melakukan kebijakan-kebijakan di sektor pertanian dan perkebunan yang kurang kondusif bagi kemajuan agribisnis dan agroindustri, seperti impor besar-besaran beras dan gula.
Pembangunan di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang diarahkan pada kemandirian bangsa harus memiliki agenda perencanaan yang baik. Di antaranya dengan menerapkan konsep agribisnis dan agroindustri yang holistik dan terpadu, perbaikan lingkungan agribisnis, peningkatan peran kelembagaan, dan pengembangan model pembangunan wilayah.
Penerapan konsep agribisnis dan agroindustri yang holistik dan terpadu, harus dilakukan dalam pembangunan di sektor pertanian secara komprehensif serta terpadu. Secara hakiki, pendekatan ini mengandung arti bahwa sistem produksi, pascapanen (penanganan dan pengolahan), dan pemasaran harus secara produktif dan efisien dapat menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi baik di pasar domestik maupun pasar internasional.
Produk-produk yang baik dalam arti kuantitas maupun kualitas hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pasar, sehingga permasalahan market glut (harga turun drastis pada saat terjadi panen raya atau pada saat sedang musim ikan) yang sampai saat ini masih merupakan dilema klasik sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan dapat dihindari.
Untuk dapat menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi, diperlukan penerapan iptek dan manajemen profesional melalui pendekatan QCD (Quality, Cost, and Delivery) pada keseluruhan mata rantai (sistem) agribisnis, dari mulai aspek produksi, pascapanen, transportasi dan distribusi, sampai ke pemasaran.
Mengingat bahwa kesinambungan pembangunan agribisnis dan agroindustri bergantung pada daya dukung dan kualitas lingkungan, maka pelaksanaannya harus sesuai dengan azas-azas kelestarian lingkungan. Dari sudut daya saing pasar internasional, produksi pertanian, perkebunan, dan perikanan yang dijalankan secara ramah lingkungan juga menjadi sangat penting, karena sekarang dan terlebih di masa mendatang (saat era perdagangan bebas berlaku penuh), setiap produk pertanian harus mengikuti persyaratan lingkungan, seperti ISO 14000, ecolabelling, HACCP, responsible fishery, dan lainnya.
Ada sebagian pengamat berpendapat, bahwa kejayaan agribisnis hanya bersifat sementara, yakni hanya sekira 4 sampai 5 tahun. Hal ini ada benarnya bila pertanian hanya dipersepsikan secara terbatas pada aspek budi daya atau produksi komoditas primer (on-farm activities), seperti produksi padi, coklat, CPO, kopi, karet mentah, udang dan ikan, ternak, dan kayu glondongan. Agar kejayaan agribisnis berkesinambungan, maka sistem pembangunan pertanian harus memerhatikan produktivitas, efisiensi, kualitas, dan nilai tambah.
Oleh karena itu, agribisnis tidak boleh berhenti pada upaya produksi komoditas primer tapi harus jauh ke hilir yang menghasilkan upaya nilai tambah yang berarti menumbuhkan sektor industri manufakturing produk hasil pertanian dan jasa. Hal ini bisa menjamin tingginya tingkat daya saing produk agribisnis dan agroindustri Indonesia sepanjang masa. Pengalaman empiris beberapa negara maju seperti AS, Kanada, Eropa Barat, Australia dan New Zaeland yang kuat dalam agribisnis dan agroindustri dari hulu sampai ke hilir menunjukkan cerita sukses pembangunan nasionalnya karena berbasis pada sumber daya alamnya, sehingga mereka selalu mengatakan from the farm to the kitchen, from the staple to the table. Dari negara maju ini muncul multinational corporation berbasis pertanian yang merajai dunia misalnya Monsanto, Pioneer hybrid, Kellogg, Unilever, General Foods, McDonald, Pizza Hut, dsb.
Langkah Pembangunan Kedepan ;
Apabila Indonesia dalam strategi pembangunan nasionalnya berbasis pada pertanian, perkebunan, dan perikanan yang komprehensif dengan membenahi tidak saja di sektor budi daya, tetapi di hulu untuk industri benih, pupuk, obat-obatan, lahan, air, mekanisasi, sampai ke hilir untuk industri manufakturing produk hasil pertanian, alat pengolahan, penyimpanan, transportasi, distribusi dan konsumsi/gizi. Hal ini akan mengakibatkan booming berkelanjutan. Untuk ini diperlukan strategi bersama dan upaya bersama dari semua sektor dan semua lapisan masyarakat serta pihak pemerintah.
Dalam perbaikan lingkungan agribisnis, lingkungan eksternal atau kebijakan ekonomi makro seyogyanya dibuat agar bersifat kondusif bagi kemajuan agribisnis dan agroindustri. Sistem perbankan yang ada sekarang semestinya diubah menjadi unit bank sistem. Suku bunga untuk usaha agribisnis dan agroindustri seharusnya mengikuti negara-negara lain, seperti Malaysia (9%), Thailand (7%), dan Australia (3%). Nilai tukar (terms of trade) dari produk-produk pertanian harus senantiasa diupayakan menguntungkan bagi para petani, nelayan, peternak, dan pengusaha kecil hutan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam lingkungan agribisnis adalah redistribusi lahan melalui land reform secara adil dan proporsional atau konsolidasi lahan pemilikan yang kecil-kecil menjadi luas hamparan usaha yang memenuhi persyaratan economic of scale dari usaha agribisnis dan agroindustri. Pengembangan serta penerapan sistem hukum dan kelembagaan yang dapat menjamin produktivitas, efisiensi, dan kesinambungan usaha agribisnis dan agroindustri. Misalnya, penerapan undang-undang tata ruang yang mempertahankan lahan pertanian subur atau produktif dari konversi ke peruntukan pembangunan lainnya (real estate, kawasan industri, dan lainnya) seperti yang terjadi pada masa Orba. Oleh karena itu, perlu segera dan secara sistematis dilakukan upaya peningkatan penguasaan dan penerapan iptek pertanian serta peningkatan kualitas SDM pertanian.
Dalam rangka mewujudkan sistem pertanian dengan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing tinggi diperlukan organisasi kelembagaan yang mampu mengemban visi dan misi pembangunan, mampu mengantisipasi tantangan pembangunan, mampu memanfaatkan peluang, dan secara konsisten mampu mendinamisasikan seluruh pelaku pertanian, perkebunan, dan perikanan dalam melaksanakan strategi dan kebijaksanaan pembangunan, serta mampu menjadi dinamisator dan katalisator bagi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.
Untuk dapat mewujudkan visi dan misi tersebut diperlukan reformasi lembaga yang menangani pertanian. Reformasi yang dilakukan hendaknya berintikan rekonsiliasi lembaga pertanian pada skala nasional pada seluruh tingkat agar mampu menciptakan organisasi yang dapat mengakomodasikan pendekatan fungsi-fungsi pertanian, mandiri dan dinamis, saling terkait antara satu unit dengan unit lain, tidak menimbulkan unit yang menjadi unit superior, mudah untuk membentuk tim ad hoc untuk menyelesaikan masalah-masalah mendesak.
Selain itu, perlu bersikap profesional dan tidak mudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik, serta mampu menjadi wadah untuk melahirkan SDM yang profesional sesuai dengan bidang masing-masing.
Menyangkut aspek kelembagaan, perlu ada rekayasa sosial yang menyangkut peran koperasi. Dalam hal ini koperasi yang dapat mengorganisasi diri misalnya collective farming untuk rice estate. Untuk pertanian yang komersial, percepatan pembangunan koperasi agribisnis perlu dilaksanakan sebagai integrasi vertikal dan horisontal pengembangan agribisnis di tanah air.
Langkah lain yang dapat mendukung upaya peningkatan komersialisasi dan nilai tambah pertanian adalah menempatkan orang-orang yang concern pada pertanian di kedutaan-kedutaan besar Indonesia di luar negeri guna menembus lebih luas produk pertanian Indonesia ke pasar internasional.
Pengembangan Model Pembangunan Wilayah, kiranya perlu dilakukan dalam mengakselerasi pembangunan pertanian, perkebunan, dan perikanan melalui pendekatan agribisnis dan agroindustri seperti dicita-citakan di atas, melalui pendekatan agribisnis dan agroindustri secara komprehensif dan terpadu ini di setiap provinsi di tanah air. Penerapan model tersebut seperti Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PEMP) bagi masyarakat nelayan di wilayah pesisir oleh Departemen Kelautan dan Perikanan yang dilakukan di 120 Kabupaten yang menyebar di seluruh Indonesia (2003).
Strategi yang diajukan dalam pengembangan model pengembangan wilayah berbasis masyarakat adalah sebagai berikut. Identifikasi peluang pasar, penyediaan sarana pascapanen, penyediaan sarana produksi pertanian, pembinaan petani ke dalam kelompok agar tercipta efisiensi produksi, penyediaan bantuan keuangan untuk pembelian sarana produksi dan biaya hidup khususnya bagi buruh tani, dan penyediaan lembaga pemasaran yang tangguh dan terpercaya.
Keenam langkah tersebut hendaknya dilaksanakan secara penuh dengan melibatkan petani, nelayan, dan masyarakat pedesaan secara penuh pula. Jika hal tersebut dilaksanakan, maka akan tercapai pengembangan wilayah berbasis masyarakat secara berkesinambungan. Semoga segala cita-cita dan harapan kita semua dalam memajukan bangsa dan menuju arah kemandirian dapat tercapai.
Minggu, 23 Oktober 2011
PENDEKATAN MASALAH PEMBUATAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG N0.10 TAHUN 2003 Oleh : Ricky Idaman SH.MH Alumni Program Pasca Sarjana Unand – Padang Sumbar 2007
Pengantar
Kinerja di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan (PUU) dalam 10 tahun terakhir ini telah memperlihatkan peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini tidak terlepas dari proses penyusunan PUU dengan mekanisme yang makin tertib, terarah, dan terukur, meskipun masih tetap perlu diupayakan penyusunan PUU dengan proses yang lebih cepat dengan tidak mengurangi kualitas PUU yang dihasilkan. Percepatan penyelesaian PUU utamanya perlu didorong terhadap program pembentukan PUU yang penyelesaiannya ditentukan dalam waktu tertentu atau diperlukan segera untuk merealisasikan program-program strategis pembangunan.
Penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah, telah menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Dalam kaitan ini peran dan dukungan daerah dalam rangka pelaksanaan PUU sangat strategis, khususnya dalam membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan daerah lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perda sebagai jenis PUU nasional memiliki landasan konstitusional dan landasan yuridis dengan diaturnya kedudukan Perda dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6), UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah termasuk perundang-undangan tentang daerah otonomi khusus dan daerah istimewa sebagai lex specialis dari UU No.32/2004. Selain itu terkait dengan pelaksanaan wewenang dan tugas DPRD dalam membentuk Perda adalah UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD. Penting pula untuk diperhatikan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi sebagai pengganti UU No.18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.34 Tahun 2004, dalam rangka pengendalian Perda tentang Pajak dan Retribusi dan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam rangka keterpaduan RTRW nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan Perda dan peraturan daerah lainnya, dan Perda diharapkan dapat mendukung secara sinergis program-program Pemerintah di daerah.
Perda sebagaimana PUU lainnya memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum PUU harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana dalam PUU yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.
Pengharmonisasian PUU memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan daerah adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan PUU lainnya.
II. Aspek Pengaturan Peraturan daerah
a. Kedudukan dan Landasan Hukum
Sesuai asas desentralisasi daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang telah diatur lebih lanjut dengan PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga telah menetapkan PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah memerlukan perangkat peraturan perundang‐undangan.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan ”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Ketentuan Konstitusi tersebut dipertegas dalam UU No.10/2004 yang menyatakan jenis PUU nasional dalam hierarki paling bawah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan Ketentuan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), PUU tunduk pada asas hierarki yang diartikan suatu PUU yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi tingkatannya atau derajatnya. Sesuai asas hierarki dimaksud PUU merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki ketergantungan, keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu Perda dilarang bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi. Perda harus didasarkan pada Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (Pasal 2 UU No.10/2004), UUD 1945 yang merupakan hukum dasar dalam PUU (Pasal 4 ayat (1) UU No.10/2004, asas‐asas pembentukan PUU sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 137 UU No. 32/2004.
Kedudukan Perda juga dapat ditinjau dari aspek kewenangan membentuk Perda. Pasal 1 angka 2 UU No.10/2004 menyatakan bahwa: “Peraturan Perundang-ndangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan DPRD. Hal ini sesuai UU No.32/2004 Pasal 25 huruf c bahwa ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD” dan Pasal 42 ayat (1) huruf a bahwa”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama”, dan Pasal 136 ayat (1) bahwa”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.
Memperhatikan ketentuan mengenai Perda dimaksud, dapat disimpulkan bahwa Perda mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai instrumen kebijakan di daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah namun Perda tersebut pada dasarnya merupakan peraturan pelaksanaan dari PUU yang lebih tinggi. Selain itu Perda dapat berfungsi sebagai istrumen kebijakan untuk penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam rangka harmonisasi, asas hierarki dilaksanakan melalui pembatalan perda oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Asas hierarki juga menimbulkan lahirnya hak untuk menguji Perda tersebut baik secara formal (formele toetsingsrecht) maupun material (materiele toetsingsrecht). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah dibuat melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam PUU; sedangkan hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu produk hukum isinya sesuai dengan PUU yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
b. Materi Muatan Perda
Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam UU No.10/2004 dan UU No.32/2004. Pasal 12 UU No.10/2004 menyatakan:“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 138 UU No.32/2004, menentukan materi Perda harus memperhatikan asas materi muatan PUU antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, dan yang terpenting ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) UU No.10/2004 jo Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 bahwa materi Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan /atau peraturan PUU yang lebih tinggi. Dalam penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan kepentingan umum” adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara penyusunan Perda yakni mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang APBD (Pasal 185 s.d Pasal 191 UU No.32/2004), Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah (Pasal 189 UU No.32/2004). Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda dengan PUU yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian Perda dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.
Raperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RTRW sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota.
Ketentuan mengenai tata cara evaluasi Raperda tentang pajak dan retribusi diatur dalam No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi (Pasal 157 s.d Pasal 158), sedangkan pengaturan mengenai tata cara evaluasi Raperda RTRW terdapat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Raperda tentang pajak dan retribusi yang telah disetujui kepala daerah dengan DPRD sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Raperda Provinsi untuk dievaluasi untuk diuji kesesuaiannya dengan UU No.28/2009, kepentingan umum, dan/atau PUU lain yang lebih tinggi. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan Raperda dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur/ bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Mekanisme tersebut berlaku mutatis mutandis bagi Raperda kabupaten/kota tentang pajak restribusi dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
Sesuai ketentuan Pasal 18 UU No.26/2007 penetapan Raperda provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri PU; dan penetapan Raperda kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri PU setelah mendapatkan rekomendasi gubernur. Pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara persetujuan substansi dimaksud diatur dalam PP No.15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Sesuai PP ini, persetujuan bersama Raperda provinsi tentang RTRW antara gubernur dengan DPRD provinsi yang didasarkan pada persetujuan substansi dari Menteri PU, dan kewajiban untuk menyampaikan Raperda tersebut kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Mekanisme ini berlaku mutatis mutandis bagi Raperda RTRW kabupaten/kota dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur.
Ketentuan mengenai pembatalan Perda diatur dalam Pasal 145 UU No.32/2004. Sesuai ketentuan Pasal ini Perda yang telah ditetapkan bersama Pemda dan DPRD wajib disampaikan kepada Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri paling lama 7 hari setelah ditetapkan. Pemerintah harus telah memberikan keputusan atas Perda tersebut paling lama 60 hari sejak Perda diterima. Dalam hal Perda dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Selanjutnya paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan bersama DPRD mencabut Perda dimaksud. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Khusus mengenai pembatalan Perda tentang Pajak dan Restribusi berdasar ketentuan dalam UU No.28 Tahun 2009, Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota dibatalkan apabila bertentangan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atas rekomendasi dari Menteri Keuangan kepada Presiden yang disampaikan melalui Menteri Dalam Negeri. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Perda oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya sesuai Pasal 159 UU No.28 Tahun 2009 daerah yang tidak menyampaikan Perda tentang Pajak dan Retribusi kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.
c. Urgensi Harmonisasi Perda dengan PUU Lain
Harmonisasi PUU adalah proses yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu PUU dengan PUU lainnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki PUU sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua PUU termasuk Perda baik secara vertikal maupun horisontal.
Dalam UU No.10 Tahun 2004 terdapat rambu-rambu yang mengarahkan pada pentingnya harmonisasi PUU untuk semua jenis PUU termasuk Perda. Pasal 5 menentukan PUU dinilai baik apabila telah memenuhi asas peraturan perundang-undangan yang baik antara lain kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan kejelasan rumusan; Pasal 7 tentang jenis dan hierarki PUU; Pasal 6 tentang asas-asas PUU, Pasal 12 tentang materi muatan Perda dan Pasal 15 tentang Prolegda.
Harmonisasi Raperda dengan PUU perlu didukung oleh aturan yang jelas dan tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa dintergrasikan sebagai syarat formal penyusunan Perda seperti halnya proses pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi RUU, RPP, Rperpres termasuk Rinpres yang dilaksanakan sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan Peraturan Presiden No.61/2005 tentang Prolegnas.
Dalam Peraturan Presiden No.68/2005 antara lain diatur mengenai pembentukan Panitia Antardepartemen, pengajuan surat permintaan keanggotaan Panitia Antardepartemen kepada Menteri dan menteri /pimpinan lembaga terkait; dan penegasan keikutsertaan wakil dari Kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dalam setiap Panitia Antardepartemen dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian Rancangan Undang-Undang dan teknik perancangan perundang-undangan. Dalam Perpres tersebut juga diatur mengenai teknik-teknik pelaksanaan pengharmonisasian termasuk mekanisme penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan. Dalam Perpres No. 61 Tahun 2005 diatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dalam Pasal 14 s.d 17, yang pada intinya menentukan bahwa RUU sebelum dimintakan persetujuan Presiden sebagai Prolegnas terlebih dahulu dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU.
Model pengharmonisasian PUU ditingkat Pusat dapat diadaptasi dalam proses penyusunan Perda dan dimungkinkan untuk dibuatkan payung hukumnya berdasar pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU No.10/2004 bahwa tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari gubernur, bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Perpres ini semestinya segera dibentuk karena ada kemungkinan daerah mengabaikan harmonisasi Raperda dengan PPU lainnya dengan alasan tidak ada dasar hukum dan pedoman teknis yang cukup kuat selama Perpres tersebut belum ditetapkan. Pentingnya pengaturan pengharmonisasian bagi Raperda diatur dalam Perpres tersebut agar selaras dengan pengaturan di DPRD dalam PP No.16 Tahun 2010 dimana Pasal 53 PP tersebut mengatur bahwa Badan Legislasi Daerah bertugas melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD. Ketentuan Pasal 53 PP tersebut konkordan dengan ketentuan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 dimana proses tersebut melekat dalam tugas dari Badan Legislasi.
Proses harmonisasi memerlukan ketelitian, kecermatan, dan keakuratan dalam mengidentifikasikan PUU yang terkait, analisis norma-norma yang dinilai bersesuaian atau bertentangan, serta ketepatan dalam menentukan pilihan-pilihan politik hukum dalam hal ditemukan ketidakcocokan konsepsi rancangan dengan ketentuan PUU lain. Dalam proses tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip PUU yang harus dipegang teguh oleh para penyusun misalnya bahwa RPP dibuat untuk melaksanakan UU maka RPP tidak dapat mengatur sesuatu hal yang melebihi amanat UU tersebut.
Dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU, proses harmonisasi Perda dengan PUU lainnya dan dengan perda lainnya perlu dintegrasikan sejak pembahasan Prolegda dan penyusunan Naskah Akademis. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No.10 Tahun 2004 bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Prolegda. Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Perda yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Pasal 18 PP No.16/2010 menentukan Raperda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, dengan catatan Naskah Akademik tidak bersifat wajib bagi Raperda tentang APBD atau Raperda yang mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya.
III. PERMASALAHAN DALAM PEMBENTUKAN PERDA
Pembentukan peraturan daerah mengalami peningkatan pesat sejak desentralisasi diberlakukan dengan UU No.22 Tahun 1999 dan kemudian digantikan dengan UU No.32 Tahun 2004. Namun diperoleh gambaran umum perda-perda yang telah dibentuk dipertanyakan dari segi kualitas. Pembatalan perda menunjukkan gejala bahwa proses harmonisasi peraturan pusat dengan peraturan daerah yang tidak berjalan dengan baik. Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU Nomor 32/2004 yang menegaskan bahwa peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Hingga kini berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri telah tercatat sebanyak 1983 yang dibatalkan dan masih terdapat ribuan Perda yang direkomendasikan untuk dievaluasi dan/atau dibatalkan. Perda yang dibatalkan pada umumnya Perda tentang pajak dan retribusi daerah. Sampai dengan bulan Juli 2009 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah dibatalkan sudah mencapai 1152 Perda. Sebelum berlakunya UU No.32/2004 sudah terdapat sekitar 8000 perda tentang pajak dan retribusi daerah yang dibuat dan lebih dari 3000 perda tersebut terindikasi bermasalah. Perda-perda yang mengatur pajak dan restribusi dan bermacam-macam pungutan lainnya dibatalkan karena pada umumnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dinilai telah yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan menghambat iklim investasi.
Kementerian Keuangan menginformasikan dari hasil evaluasi terhadap Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sejak 2001 hingga 14 Agustus 2009 menunjukkan, dari total 9.714 perda, ada 3.455 perda (36 persen) yang direkomendasikan dibatalkan atau direvisi, dan dari sisi jenis usaha, perda bermasalah paling banyak diterbitkan di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pertanian, budaya dan pariwisata, serta kehutanan. Hasilnya, dari 2.566 Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat 1.727 Raperda (67 persen) yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi. Raperda bermasalah ini masih di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata, serta kesehatan. Kementerian Keuangan juga mendata sampai dengan 31 Maret 2009, Perda bermasalah paling banyak terjadi di sektor transportasi (447 Perda), disusul industri dan perdagangan (387 Perda), pertanian (344 Perda) dan kehutanan (299 Perda).
Masih terkait dengan pajak dan retribusi, Kementerian Negara Koperasi dan UKM baru menginformasikan saat ini terdapat 26 dari 92 peraturan daerah yang bertentangan dengan pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) dan terkait dengan pajak dan retribusi daerah telah dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan masih terdapat 340 perda yang bertentangan dengan pemberdayaan KUMKM sesuai UU No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dari 340 Perda tersebut sejumlah 234 peraturan daerah telah diusulkan pembatalannya kepada Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 63 di antaranya telah disetujui pembatalannya, dan 171 Perda lainnya masih dalam proses pertimbangan di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri baru-baru ini juga telah menyampaikan sebanyak 706 Perda bermasalah kepada BPK untuk diawasi.
Perda dibatalkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dikategorikan karena alasan teknis yuridis seperti dasar hukum membentuk Perda tidak tepat, alasan yang bersifat substansial (materi muatan bertentangan dengan PUU) atau alasan yang dipandang prinsipil misalnya mengandung ketentuan yang diskriminatif atau melanggar HAM.
Beragamnya pertimbangan pembatalan Perda hingga kini tampaknya belum ada data konkrit mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya disharmonisasi Perda dengan PUU. Namun demikian jika dicermati kemungkinan besar dalam setiap pembentukan perda bermasalah terdapat satu atau lebih persoalan sebagai berikut:
1. Daerah menganggap dengan tidak adanya kerangka acuan yang jelas dalam membentuk Perda maka pembentukan Perda mengabaikan ketentuan-ketentuan prinsip mengenai asas dan materi muatan Pembentukan Perda sebagaimana ditetapkan UU No.10/2004 dan UU No.32 Tahun 20004.
2. Daerah memahami prinsip-prinsip pengaturan penyusunan Perda sesuai UU No.10/2004 dan UU No.32/2004 namun kurang kapasitas pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan teknik-teknik perumusan norma yang dinilai tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Kurangnya pemahaman dikalangan penyusun perda mengenai teknik penyusunan peraturan daerah yang antara lain disebabkan oleh kurangnya pengalaman penyusun perda mengenai ilmu pengetahuan perundang-undangan dan teknik penyusunan perda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Langkah-langkah pembinaan yang dilakukan oleh instansi Pusat kepada aparatur pemerintah daerah dalam penyusunan Perda kemungkinan belum optimal dan belum merata.
5. Belum adanya kerangka acuan yang jelas bagi daerah mengenai tata laksana harmonisasi Raperda sebagai salah satu instrumen penting dalam rangka menjaga harmonisasi Perda dengan PUU. Perpres tentang Tata Cara Mempersiapkan Perda hingga kini belum ditetapkan.
6. Bentuk-bentuk hubungan komunikasi, konsultasi, klarifikasi Raperda antara instansi Pemerintah dengan aparat terkait di daerah yang selama ini diterapkan kemungkinan kurang efektif.
7. Peran Gubernur dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan kabupatan/kota kemungkinan belum optimal.
Disamping hal-hal tersebut di atas, perlu cermati berbagai persoalan yang kemungkinan bersumber dari sisi Pemerintah yang mempersulit Pemda dalam menyusun Perda, antara lain:
1. PUU yang menjadi landasan atau pedoman Perda dalam menyusun Perda mengalami perubahan atau pergantian yang cepat dan daerah kurang siap menyikapi perubahan tersebut.
2. PUU menjadi landasan atau pedoman bagi daerah dalam menyusunan Perda terlambat diterbitkan.
3. Secara teknis, lingkup PUU yang harus diharmonisasi oleh daerah banyak dan beragam mulai dari UU sampai dengan Peraturan Menteri, sehingga proses harmonisasi Raperda membutuhkan waktu dan energi yang lebih banyak.
4. Inkonsistensi peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat dapat berdampak terjadinya kekeliruan daerah dalam menentukan ketentuan acuan hukum. Hal ini bisa juga terjadi dalam hal terdapat peraturan pelaksanaan yang dipandang tidak sesuai dengan dengan UU pokoknya.
5. Kurangnya sosialiasi peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan persepsi dan pemahaman antara aparatur daerah dengan instansi Pemerintah.
6. Ketidaksiapan Pemerintah dalam menyediakan ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan suatu urusan pemerintahan tertentu dapat mendorong daerah mengambil inisiatif-inisitaf sendiri dengan membuat peraturan atau kebijakan yang dapat bertentangan dengan PP.
7. Pendelegasian pengaturan suatu hal tertentu dalam PUU kepada Perda yang tidak jelas terutama lingkup materi muatan yang diperintahkan untuk diatur Perda, dapat mempersulit daerah dalam menyusun Perda. Pendelegasian pengaturan kepada peraturan daerah yang tidak spesifik menyebut tingkatan Perda dapat berpotensi menimbulkan perselisihan kewenangan dan tumpang tindih pengaturan.
8. Koordinasi antara instansi Pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peraturan daerah kemungkinan belum sinergis dan terpadu.
Sebagai saran dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU diharapkan Kementerian terkait yang diberi tugas menangani peraturan daerah agar segara mendesign program dan kegiatan bertahap dan terencana mulai dari kegiatan identifikasi permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah, penentuan program penanganan, evaluasi dan monitoring perkembangan mengenai intensitas dan bobot penerapan di semua daerah.
Kinerja di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan (PUU) dalam 10 tahun terakhir ini telah memperlihatkan peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini tidak terlepas dari proses penyusunan PUU dengan mekanisme yang makin tertib, terarah, dan terukur, meskipun masih tetap perlu diupayakan penyusunan PUU dengan proses yang lebih cepat dengan tidak mengurangi kualitas PUU yang dihasilkan. Percepatan penyelesaian PUU utamanya perlu didorong terhadap program pembentukan PUU yang penyelesaiannya ditentukan dalam waktu tertentu atau diperlukan segera untuk merealisasikan program-program strategis pembangunan.
Penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah, telah menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Dalam kaitan ini peran dan dukungan daerah dalam rangka pelaksanaan PUU sangat strategis, khususnya dalam membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan daerah lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perda sebagai jenis PUU nasional memiliki landasan konstitusional dan landasan yuridis dengan diaturnya kedudukan Perda dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6), UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah termasuk perundang-undangan tentang daerah otonomi khusus dan daerah istimewa sebagai lex specialis dari UU No.32/2004. Selain itu terkait dengan pelaksanaan wewenang dan tugas DPRD dalam membentuk Perda adalah UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD. Penting pula untuk diperhatikan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi sebagai pengganti UU No.18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.34 Tahun 2004, dalam rangka pengendalian Perda tentang Pajak dan Retribusi dan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam rangka keterpaduan RTRW nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan Perda dan peraturan daerah lainnya, dan Perda diharapkan dapat mendukung secara sinergis program-program Pemerintah di daerah.
Perda sebagaimana PUU lainnya memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum PUU harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana dalam PUU yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.
Pengharmonisasian PUU memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan daerah adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan PUU lainnya.
II. Aspek Pengaturan Peraturan daerah
a. Kedudukan dan Landasan Hukum
Sesuai asas desentralisasi daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang telah diatur lebih lanjut dengan PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga telah menetapkan PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah memerlukan perangkat peraturan perundang‐undangan.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan ”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Ketentuan Konstitusi tersebut dipertegas dalam UU No.10/2004 yang menyatakan jenis PUU nasional dalam hierarki paling bawah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan Ketentuan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), PUU tunduk pada asas hierarki yang diartikan suatu PUU yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi tingkatannya atau derajatnya. Sesuai asas hierarki dimaksud PUU merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki ketergantungan, keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu Perda dilarang bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi. Perda harus didasarkan pada Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (Pasal 2 UU No.10/2004), UUD 1945 yang merupakan hukum dasar dalam PUU (Pasal 4 ayat (1) UU No.10/2004, asas‐asas pembentukan PUU sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 137 UU No. 32/2004.
Kedudukan Perda juga dapat ditinjau dari aspek kewenangan membentuk Perda. Pasal 1 angka 2 UU No.10/2004 menyatakan bahwa: “Peraturan Perundang-ndangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan DPRD. Hal ini sesuai UU No.32/2004 Pasal 25 huruf c bahwa ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD” dan Pasal 42 ayat (1) huruf a bahwa”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama”, dan Pasal 136 ayat (1) bahwa”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.
Memperhatikan ketentuan mengenai Perda dimaksud, dapat disimpulkan bahwa Perda mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai instrumen kebijakan di daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah namun Perda tersebut pada dasarnya merupakan peraturan pelaksanaan dari PUU yang lebih tinggi. Selain itu Perda dapat berfungsi sebagai istrumen kebijakan untuk penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam rangka harmonisasi, asas hierarki dilaksanakan melalui pembatalan perda oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Asas hierarki juga menimbulkan lahirnya hak untuk menguji Perda tersebut baik secara formal (formele toetsingsrecht) maupun material (materiele toetsingsrecht). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah dibuat melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam PUU; sedangkan hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu produk hukum isinya sesuai dengan PUU yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
b. Materi Muatan Perda
Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam UU No.10/2004 dan UU No.32/2004. Pasal 12 UU No.10/2004 menyatakan:“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 138 UU No.32/2004, menentukan materi Perda harus memperhatikan asas materi muatan PUU antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, dan yang terpenting ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) UU No.10/2004 jo Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 bahwa materi Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan /atau peraturan PUU yang lebih tinggi. Dalam penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan kepentingan umum” adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara penyusunan Perda yakni mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang APBD (Pasal 185 s.d Pasal 191 UU No.32/2004), Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah (Pasal 189 UU No.32/2004). Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda dengan PUU yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian Perda dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.
Raperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RTRW sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota.
Ketentuan mengenai tata cara evaluasi Raperda tentang pajak dan retribusi diatur dalam No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi (Pasal 157 s.d Pasal 158), sedangkan pengaturan mengenai tata cara evaluasi Raperda RTRW terdapat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Raperda tentang pajak dan retribusi yang telah disetujui kepala daerah dengan DPRD sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Raperda Provinsi untuk dievaluasi untuk diuji kesesuaiannya dengan UU No.28/2009, kepentingan umum, dan/atau PUU lain yang lebih tinggi. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan Raperda dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur/ bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Mekanisme tersebut berlaku mutatis mutandis bagi Raperda kabupaten/kota tentang pajak restribusi dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
Sesuai ketentuan Pasal 18 UU No.26/2007 penetapan Raperda provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri PU; dan penetapan Raperda kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri PU setelah mendapatkan rekomendasi gubernur. Pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara persetujuan substansi dimaksud diatur dalam PP No.15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Sesuai PP ini, persetujuan bersama Raperda provinsi tentang RTRW antara gubernur dengan DPRD provinsi yang didasarkan pada persetujuan substansi dari Menteri PU, dan kewajiban untuk menyampaikan Raperda tersebut kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Mekanisme ini berlaku mutatis mutandis bagi Raperda RTRW kabupaten/kota dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur.
Ketentuan mengenai pembatalan Perda diatur dalam Pasal 145 UU No.32/2004. Sesuai ketentuan Pasal ini Perda yang telah ditetapkan bersama Pemda dan DPRD wajib disampaikan kepada Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri paling lama 7 hari setelah ditetapkan. Pemerintah harus telah memberikan keputusan atas Perda tersebut paling lama 60 hari sejak Perda diterima. Dalam hal Perda dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Selanjutnya paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan bersama DPRD mencabut Perda dimaksud. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Khusus mengenai pembatalan Perda tentang Pajak dan Restribusi berdasar ketentuan dalam UU No.28 Tahun 2009, Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota dibatalkan apabila bertentangan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atas rekomendasi dari Menteri Keuangan kepada Presiden yang disampaikan melalui Menteri Dalam Negeri. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Perda oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya sesuai Pasal 159 UU No.28 Tahun 2009 daerah yang tidak menyampaikan Perda tentang Pajak dan Retribusi kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.
c. Urgensi Harmonisasi Perda dengan PUU Lain
Harmonisasi PUU adalah proses yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu PUU dengan PUU lainnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki PUU sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua PUU termasuk Perda baik secara vertikal maupun horisontal.
Dalam UU No.10 Tahun 2004 terdapat rambu-rambu yang mengarahkan pada pentingnya harmonisasi PUU untuk semua jenis PUU termasuk Perda. Pasal 5 menentukan PUU dinilai baik apabila telah memenuhi asas peraturan perundang-undangan yang baik antara lain kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan kejelasan rumusan; Pasal 7 tentang jenis dan hierarki PUU; Pasal 6 tentang asas-asas PUU, Pasal 12 tentang materi muatan Perda dan Pasal 15 tentang Prolegda.
Harmonisasi Raperda dengan PUU perlu didukung oleh aturan yang jelas dan tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa dintergrasikan sebagai syarat formal penyusunan Perda seperti halnya proses pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi RUU, RPP, Rperpres termasuk Rinpres yang dilaksanakan sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan Peraturan Presiden No.61/2005 tentang Prolegnas.
Dalam Peraturan Presiden No.68/2005 antara lain diatur mengenai pembentukan Panitia Antardepartemen, pengajuan surat permintaan keanggotaan Panitia Antardepartemen kepada Menteri dan menteri /pimpinan lembaga terkait; dan penegasan keikutsertaan wakil dari Kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dalam setiap Panitia Antardepartemen dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian Rancangan Undang-Undang dan teknik perancangan perundang-undangan. Dalam Perpres tersebut juga diatur mengenai teknik-teknik pelaksanaan pengharmonisasian termasuk mekanisme penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan. Dalam Perpres No. 61 Tahun 2005 diatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dalam Pasal 14 s.d 17, yang pada intinya menentukan bahwa RUU sebelum dimintakan persetujuan Presiden sebagai Prolegnas terlebih dahulu dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU.
Model pengharmonisasian PUU ditingkat Pusat dapat diadaptasi dalam proses penyusunan Perda dan dimungkinkan untuk dibuatkan payung hukumnya berdasar pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU No.10/2004 bahwa tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari gubernur, bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Perpres ini semestinya segera dibentuk karena ada kemungkinan daerah mengabaikan harmonisasi Raperda dengan PPU lainnya dengan alasan tidak ada dasar hukum dan pedoman teknis yang cukup kuat selama Perpres tersebut belum ditetapkan. Pentingnya pengaturan pengharmonisasian bagi Raperda diatur dalam Perpres tersebut agar selaras dengan pengaturan di DPRD dalam PP No.16 Tahun 2010 dimana Pasal 53 PP tersebut mengatur bahwa Badan Legislasi Daerah bertugas melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD. Ketentuan Pasal 53 PP tersebut konkordan dengan ketentuan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 dimana proses tersebut melekat dalam tugas dari Badan Legislasi.
Proses harmonisasi memerlukan ketelitian, kecermatan, dan keakuratan dalam mengidentifikasikan PUU yang terkait, analisis norma-norma yang dinilai bersesuaian atau bertentangan, serta ketepatan dalam menentukan pilihan-pilihan politik hukum dalam hal ditemukan ketidakcocokan konsepsi rancangan dengan ketentuan PUU lain. Dalam proses tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip PUU yang harus dipegang teguh oleh para penyusun misalnya bahwa RPP dibuat untuk melaksanakan UU maka RPP tidak dapat mengatur sesuatu hal yang melebihi amanat UU tersebut.
Dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU, proses harmonisasi Perda dengan PUU lainnya dan dengan perda lainnya perlu dintegrasikan sejak pembahasan Prolegda dan penyusunan Naskah Akademis. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No.10 Tahun 2004 bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Prolegda. Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Perda yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Pasal 18 PP No.16/2010 menentukan Raperda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, dengan catatan Naskah Akademik tidak bersifat wajib bagi Raperda tentang APBD atau Raperda yang mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya.
III. PERMASALAHAN DALAM PEMBENTUKAN PERDA
Pembentukan peraturan daerah mengalami peningkatan pesat sejak desentralisasi diberlakukan dengan UU No.22 Tahun 1999 dan kemudian digantikan dengan UU No.32 Tahun 2004. Namun diperoleh gambaran umum perda-perda yang telah dibentuk dipertanyakan dari segi kualitas. Pembatalan perda menunjukkan gejala bahwa proses harmonisasi peraturan pusat dengan peraturan daerah yang tidak berjalan dengan baik. Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU Nomor 32/2004 yang menegaskan bahwa peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Hingga kini berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri telah tercatat sebanyak 1983 yang dibatalkan dan masih terdapat ribuan Perda yang direkomendasikan untuk dievaluasi dan/atau dibatalkan. Perda yang dibatalkan pada umumnya Perda tentang pajak dan retribusi daerah. Sampai dengan bulan Juli 2009 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah dibatalkan sudah mencapai 1152 Perda. Sebelum berlakunya UU No.32/2004 sudah terdapat sekitar 8000 perda tentang pajak dan retribusi daerah yang dibuat dan lebih dari 3000 perda tersebut terindikasi bermasalah. Perda-perda yang mengatur pajak dan restribusi dan bermacam-macam pungutan lainnya dibatalkan karena pada umumnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dinilai telah yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan menghambat iklim investasi.
Kementerian Keuangan menginformasikan dari hasil evaluasi terhadap Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sejak 2001 hingga 14 Agustus 2009 menunjukkan, dari total 9.714 perda, ada 3.455 perda (36 persen) yang direkomendasikan dibatalkan atau direvisi, dan dari sisi jenis usaha, perda bermasalah paling banyak diterbitkan di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pertanian, budaya dan pariwisata, serta kehutanan. Hasilnya, dari 2.566 Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat 1.727 Raperda (67 persen) yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi. Raperda bermasalah ini masih di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata, serta kesehatan. Kementerian Keuangan juga mendata sampai dengan 31 Maret 2009, Perda bermasalah paling banyak terjadi di sektor transportasi (447 Perda), disusul industri dan perdagangan (387 Perda), pertanian (344 Perda) dan kehutanan (299 Perda).
Masih terkait dengan pajak dan retribusi, Kementerian Negara Koperasi dan UKM baru menginformasikan saat ini terdapat 26 dari 92 peraturan daerah yang bertentangan dengan pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) dan terkait dengan pajak dan retribusi daerah telah dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan masih terdapat 340 perda yang bertentangan dengan pemberdayaan KUMKM sesuai UU No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dari 340 Perda tersebut sejumlah 234 peraturan daerah telah diusulkan pembatalannya kepada Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 63 di antaranya telah disetujui pembatalannya, dan 171 Perda lainnya masih dalam proses pertimbangan di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri baru-baru ini juga telah menyampaikan sebanyak 706 Perda bermasalah kepada BPK untuk diawasi.
Perda dibatalkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dikategorikan karena alasan teknis yuridis seperti dasar hukum membentuk Perda tidak tepat, alasan yang bersifat substansial (materi muatan bertentangan dengan PUU) atau alasan yang dipandang prinsipil misalnya mengandung ketentuan yang diskriminatif atau melanggar HAM.
Beragamnya pertimbangan pembatalan Perda hingga kini tampaknya belum ada data konkrit mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya disharmonisasi Perda dengan PUU. Namun demikian jika dicermati kemungkinan besar dalam setiap pembentukan perda bermasalah terdapat satu atau lebih persoalan sebagai berikut:
1. Daerah menganggap dengan tidak adanya kerangka acuan yang jelas dalam membentuk Perda maka pembentukan Perda mengabaikan ketentuan-ketentuan prinsip mengenai asas dan materi muatan Pembentukan Perda sebagaimana ditetapkan UU No.10/2004 dan UU No.32 Tahun 20004.
2. Daerah memahami prinsip-prinsip pengaturan penyusunan Perda sesuai UU No.10/2004 dan UU No.32/2004 namun kurang kapasitas pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan teknik-teknik perumusan norma yang dinilai tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Kurangnya pemahaman dikalangan penyusun perda mengenai teknik penyusunan peraturan daerah yang antara lain disebabkan oleh kurangnya pengalaman penyusun perda mengenai ilmu pengetahuan perundang-undangan dan teknik penyusunan perda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Langkah-langkah pembinaan yang dilakukan oleh instansi Pusat kepada aparatur pemerintah daerah dalam penyusunan Perda kemungkinan belum optimal dan belum merata.
5. Belum adanya kerangka acuan yang jelas bagi daerah mengenai tata laksana harmonisasi Raperda sebagai salah satu instrumen penting dalam rangka menjaga harmonisasi Perda dengan PUU. Perpres tentang Tata Cara Mempersiapkan Perda hingga kini belum ditetapkan.
6. Bentuk-bentuk hubungan komunikasi, konsultasi, klarifikasi Raperda antara instansi Pemerintah dengan aparat terkait di daerah yang selama ini diterapkan kemungkinan kurang efektif.
7. Peran Gubernur dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan kabupatan/kota kemungkinan belum optimal.
Disamping hal-hal tersebut di atas, perlu cermati berbagai persoalan yang kemungkinan bersumber dari sisi Pemerintah yang mempersulit Pemda dalam menyusun Perda, antara lain:
1. PUU yang menjadi landasan atau pedoman Perda dalam menyusun Perda mengalami perubahan atau pergantian yang cepat dan daerah kurang siap menyikapi perubahan tersebut.
2. PUU menjadi landasan atau pedoman bagi daerah dalam menyusunan Perda terlambat diterbitkan.
3. Secara teknis, lingkup PUU yang harus diharmonisasi oleh daerah banyak dan beragam mulai dari UU sampai dengan Peraturan Menteri, sehingga proses harmonisasi Raperda membutuhkan waktu dan energi yang lebih banyak.
4. Inkonsistensi peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat dapat berdampak terjadinya kekeliruan daerah dalam menentukan ketentuan acuan hukum. Hal ini bisa juga terjadi dalam hal terdapat peraturan pelaksanaan yang dipandang tidak sesuai dengan dengan UU pokoknya.
5. Kurangnya sosialiasi peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan persepsi dan pemahaman antara aparatur daerah dengan instansi Pemerintah.
6. Ketidaksiapan Pemerintah dalam menyediakan ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan suatu urusan pemerintahan tertentu dapat mendorong daerah mengambil inisiatif-inisitaf sendiri dengan membuat peraturan atau kebijakan yang dapat bertentangan dengan PP.
7. Pendelegasian pengaturan suatu hal tertentu dalam PUU kepada Perda yang tidak jelas terutama lingkup materi muatan yang diperintahkan untuk diatur Perda, dapat mempersulit daerah dalam menyusun Perda. Pendelegasian pengaturan kepada peraturan daerah yang tidak spesifik menyebut tingkatan Perda dapat berpotensi menimbulkan perselisihan kewenangan dan tumpang tindih pengaturan.
8. Koordinasi antara instansi Pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peraturan daerah kemungkinan belum sinergis dan terpadu.
Sebagai saran dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU diharapkan Kementerian terkait yang diberi tugas menangani peraturan daerah agar segara mendesign program dan kegiatan bertahap dan terencana mulai dari kegiatan identifikasi permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah, penentuan program penanganan, evaluasi dan monitoring perkembangan mengenai intensitas dan bobot penerapan di semua daerah.
Langganan:
Postingan (Atom)