Minggu, 23 Oktober 2011

PENDEKATAN MASALAH PEMBUATAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG N0.10 TAHUN 2003 Oleh : Ricky Idaman SH.MH Alumni Program Pasca Sarjana Unand – Padang Sumbar 2007

Pengantar

Kinerja di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan (PUU) dalam 10 tahun terakhir ini telah memperlihatkan peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini tidak terlepas dari proses penyusunan PUU dengan mekanisme yang makin tertib, terarah, dan terukur, meskipun masih tetap perlu diupayakan penyusunan PUU dengan proses yang lebih cepat dengan tidak mengurangi kualitas PUU yang dihasilkan. Percepatan penyelesaian PUU utamanya perlu didorong terhadap program pembentukan PUU yang penyelesaiannya ditentukan dalam waktu tertentu atau diperlukan segera untuk merealisasikan program-program strategis pembangunan.
Penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah, telah menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Dalam kaitan ini peran dan dukungan daerah dalam rangka pelaksanaan PUU sangat strategis, khususnya dalam membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan daerah lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perda sebagai jenis PUU nasional memiliki landasan konstitusional dan landasan yuridis dengan diaturnya kedudukan Perda dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6), UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah termasuk perundang-undangan tentang daerah otonomi khusus dan daerah istimewa sebagai lex specialis dari UU No.32/2004. Selain itu terkait dengan pelaksanaan wewenang dan tugas DPRD dalam membentuk Perda adalah UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD. Penting pula untuk diperhatikan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi sebagai pengganti UU No.18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.34 Tahun 2004, dalam rangka pengendalian Perda tentang Pajak dan Retribusi dan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam rangka keterpaduan RTRW nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan Perda dan peraturan daerah lainnya, dan Perda diharapkan dapat mendukung secara sinergis program-program Pemerintah di daerah.
Perda sebagaimana PUU lainnya memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum PUU harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana dalam PUU yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.
Pengharmonisasian PUU memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan daerah adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan PUU lainnya.

II. Aspek Pengaturan Peraturan daerah
a. Kedudukan dan Landasan Hukum
Sesuai asas desentralisasi daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang telah diatur lebih lanjut dengan PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga telah menetapkan PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah memerlukan perangkat peraturan perundang‐undangan.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan ”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Ketentuan Konstitusi tersebut dipertegas dalam UU No.10/2004 yang menyatakan jenis PUU nasional dalam hierarki paling bawah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan Ketentuan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), PUU tunduk pada asas hierarki yang diartikan suatu PUU yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi tingkatannya atau derajatnya. Sesuai asas hierarki dimaksud PUU merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki ketergantungan, keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu Perda dilarang bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi. Perda harus didasarkan pada Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (Pasal 2 UU No.10/2004), UUD 1945 yang merupakan hukum dasar dalam PUU (Pasal 4 ayat (1) UU No.10/2004, asas‐asas pembentukan PUU sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 137 UU No. 32/2004.
Kedudukan Perda juga dapat ditinjau dari aspek kewenangan membentuk Perda. Pasal 1 angka 2 UU No.10/2004 menyatakan bahwa: “Peraturan Perundang-ndangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan DPRD. Hal ini sesuai UU No.32/2004 Pasal 25 huruf c bahwa ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD” dan Pasal 42 ayat (1) huruf a bahwa”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama”, dan Pasal 136 ayat (1) bahwa”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.
Memperhatikan ketentuan mengenai Perda dimaksud, dapat disimpulkan bahwa Perda mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai instrumen kebijakan di daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah namun Perda tersebut pada dasarnya merupakan peraturan pelaksanaan dari PUU yang lebih tinggi. Selain itu Perda dapat berfungsi sebagai istrumen kebijakan untuk penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam rangka harmonisasi, asas hierarki dilaksanakan melalui pembatalan perda oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Asas hierarki juga menimbulkan lahirnya hak untuk menguji Perda tersebut baik secara formal (formele toetsingsrecht) maupun material (materiele toetsingsrecht). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah dibuat melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam PUU; sedangkan hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu produk hukum isinya sesuai dengan PUU yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
b. Materi Muatan Perda
Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam UU No.10/2004 dan UU No.32/2004. Pasal 12 UU No.10/2004 menyatakan:“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 138 UU No.32/2004, menentukan materi Perda harus memperhatikan asas materi muatan PUU antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, dan yang terpenting ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) UU No.10/2004 jo Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 bahwa materi Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan /atau peraturan PUU yang lebih tinggi. Dalam penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan kepentingan umum” adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara penyusunan Perda yakni mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang APBD (Pasal 185 s.d Pasal 191 UU No.32/2004), Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah (Pasal 189 UU No.32/2004). Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda dengan PUU yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian Perda dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.
Raperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RTRW sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota.
Ketentuan mengenai tata cara evaluasi Raperda tentang pajak dan retribusi diatur dalam No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi (Pasal 157 s.d Pasal 158), sedangkan pengaturan mengenai tata cara evaluasi Raperda RTRW terdapat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Raperda tentang pajak dan retribusi yang telah disetujui kepala daerah dengan DPRD sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Raperda Provinsi untuk dievaluasi untuk diuji kesesuaiannya dengan UU No.28/2009, kepentingan umum, dan/atau PUU lain yang lebih tinggi. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan Raperda dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur/ bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Mekanisme tersebut berlaku mutatis mutandis bagi Raperda kabupaten/kota tentang pajak restribusi dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
Sesuai ketentuan Pasal 18 UU No.26/2007 penetapan Raperda provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri PU; dan penetapan Raperda kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri PU setelah mendapatkan rekomendasi gubernur. Pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara persetujuan substansi dimaksud diatur dalam PP No.15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Sesuai PP ini, persetujuan bersama Raperda provinsi tentang RTRW antara gubernur dengan DPRD provinsi yang didasarkan pada persetujuan substansi dari Menteri PU, dan kewajiban untuk menyampaikan Raperda tersebut kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Mekanisme ini berlaku mutatis mutandis bagi Raperda RTRW kabupaten/kota dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur.
Ketentuan mengenai pembatalan Perda diatur dalam Pasal 145 UU No.32/2004. Sesuai ketentuan Pasal ini Perda yang telah ditetapkan bersama Pemda dan DPRD wajib disampaikan kepada Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri paling lama 7 hari setelah ditetapkan. Pemerintah harus telah memberikan keputusan atas Perda tersebut paling lama 60 hari sejak Perda diterima. Dalam hal Perda dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Selanjutnya paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan bersama DPRD mencabut Perda dimaksud. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Khusus mengenai pembatalan Perda tentang Pajak dan Restribusi berdasar ketentuan dalam UU No.28 Tahun 2009, Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota dibatalkan apabila bertentangan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atas rekomendasi dari Menteri Keuangan kepada Presiden yang disampaikan melalui Menteri Dalam Negeri. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Perda oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya sesuai Pasal 159 UU No.28 Tahun 2009 daerah yang tidak menyampaikan Perda tentang Pajak dan Retribusi kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.

c. Urgensi Harmonisasi Perda dengan PUU Lain
Harmonisasi PUU adalah proses yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu PUU dengan PUU lainnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki PUU sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua PUU termasuk Perda baik secara vertikal maupun horisontal.
Dalam UU No.10 Tahun 2004 terdapat rambu-rambu yang mengarahkan pada pentingnya harmonisasi PUU untuk semua jenis PUU termasuk Perda. Pasal 5 menentukan PUU dinilai baik apabila telah memenuhi asas peraturan perundang-undangan yang baik antara lain kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan kejelasan rumusan; Pasal 7 tentang jenis dan hierarki PUU; Pasal 6 tentang asas-asas PUU, Pasal 12 tentang materi muatan Perda dan Pasal 15 tentang Prolegda.
Harmonisasi Raperda dengan PUU perlu didukung oleh aturan yang jelas dan tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa dintergrasikan sebagai syarat formal penyusunan Perda seperti halnya proses pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi RUU, RPP, Rperpres termasuk Rinpres yang dilaksanakan sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan Peraturan Presiden No.61/2005 tentang Prolegnas.
Dalam Peraturan Presiden No.68/2005 antara lain diatur mengenai pembentukan Panitia Antardepartemen, pengajuan surat permintaan keanggotaan Panitia Antardepartemen kepada Menteri dan menteri /pimpinan lembaga terkait; dan penegasan keikutsertaan wakil dari Kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dalam setiap Panitia Antardepartemen dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian Rancangan Undang-Undang dan teknik perancangan perundang-undangan. Dalam Perpres tersebut juga diatur mengenai teknik-teknik pelaksanaan pengharmonisasian termasuk mekanisme penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan. Dalam Perpres No. 61 Tahun 2005 diatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dalam Pasal 14 s.d 17, yang pada intinya menentukan bahwa RUU sebelum dimintakan persetujuan Presiden sebagai Prolegnas terlebih dahulu dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU.
Model pengharmonisasian PUU ditingkat Pusat dapat diadaptasi dalam proses penyusunan Perda dan dimungkinkan untuk dibuatkan payung hukumnya berdasar pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU No.10/2004 bahwa tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari gubernur, bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Perpres ini semestinya segera dibentuk karena ada kemungkinan daerah mengabaikan harmonisasi Raperda dengan PPU lainnya dengan alasan tidak ada dasar hukum dan pedoman teknis yang cukup kuat selama Perpres tersebut belum ditetapkan. Pentingnya pengaturan pengharmonisasian bagi Raperda diatur dalam Perpres tersebut agar selaras dengan pengaturan di DPRD dalam PP No.16 Tahun 2010 dimana Pasal 53 PP tersebut mengatur bahwa Badan Legislasi Daerah bertugas melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD. Ketentuan Pasal 53 PP tersebut konkordan dengan ketentuan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 dimana proses tersebut melekat dalam tugas dari Badan Legislasi.
Proses harmonisasi memerlukan ketelitian, kecermatan, dan keakuratan dalam mengidentifikasikan PUU yang terkait, analisis norma-norma yang dinilai bersesuaian atau bertentangan, serta ketepatan dalam menentukan pilihan-pilihan politik hukum dalam hal ditemukan ketidakcocokan konsepsi rancangan dengan ketentuan PUU lain. Dalam proses tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip PUU yang harus dipegang teguh oleh para penyusun misalnya bahwa RPP dibuat untuk melaksanakan UU maka RPP tidak dapat mengatur sesuatu hal yang melebihi amanat UU tersebut.
Dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU, proses harmonisasi Perda dengan PUU lainnya dan dengan perda lainnya perlu dintegrasikan sejak pembahasan Prolegda dan penyusunan Naskah Akademis. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No.10 Tahun 2004 bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Prolegda. Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Perda yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Pasal 18 PP No.16/2010 menentukan Raperda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, dengan catatan Naskah Akademik tidak bersifat wajib bagi Raperda tentang APBD atau Raperda yang mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya.

III. PERMASALAHAN DALAM PEMBENTUKAN PERDA
Pembentukan peraturan daerah mengalami peningkatan pesat sejak desentralisasi diberlakukan dengan UU No.22 Tahun 1999 dan kemudian digantikan dengan UU No.32 Tahun 2004. Namun diperoleh gambaran umum perda-perda yang telah dibentuk dipertanyakan dari segi kualitas. Pembatalan perda menunjukkan gejala bahwa proses harmonisasi peraturan pusat dengan peraturan daerah yang tidak berjalan dengan baik. Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU Nomor 32/2004 yang menegaskan bahwa peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Hingga kini berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri telah tercatat sebanyak 1983 yang dibatalkan dan masih terdapat ribuan Perda yang direkomendasikan untuk dievaluasi dan/atau dibatalkan. Perda yang dibatalkan pada umumnya Perda tentang pajak dan retribusi daerah. Sampai dengan bulan Juli 2009 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah dibatalkan sudah mencapai 1152 Perda. Sebelum berlakunya UU No.32/2004 sudah terdapat sekitar 8000 perda tentang pajak dan retribusi daerah yang dibuat dan lebih dari 3000 perda tersebut terindikasi bermasalah. Perda-perda yang mengatur pajak dan restribusi dan bermacam-macam pungutan lainnya dibatalkan karena pada umumnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dinilai telah yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan menghambat iklim investasi.
Kementerian Keuangan menginformasikan dari hasil evaluasi terhadap Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sejak 2001 hingga 14 Agustus 2009 menunjukkan, dari total 9.714 perda, ada 3.455 perda (36 persen) yang direkomendasikan dibatalkan atau direvisi, dan dari sisi jenis usaha, perda bermasalah paling banyak diterbitkan di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pertanian, budaya dan pariwisata, serta kehutanan. Hasilnya, dari 2.566 Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat 1.727 Raperda (67 persen) yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi. Raperda bermasalah ini masih di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata, serta kesehatan. Kementerian Keuangan juga mendata sampai dengan 31 Maret 2009, Perda bermasalah paling banyak terjadi di sektor transportasi (447 Perda), disusul industri dan perdagangan (387 Perda), pertanian (344 Perda) dan kehutanan (299 Perda).
Masih terkait dengan pajak dan retribusi, Kementerian Negara Koperasi dan UKM baru menginformasikan saat ini terdapat 26 dari 92 peraturan daerah yang bertentangan dengan pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) dan terkait dengan pajak dan retribusi daerah telah dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan masih terdapat 340 perda yang bertentangan dengan pemberdayaan KUMKM sesuai UU No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dari 340 Perda tersebut sejumlah 234 peraturan daerah telah diusulkan pembatalannya kepada Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 63 di antaranya telah disetujui pembatalannya, dan 171 Perda lainnya masih dalam proses pertimbangan di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri baru-baru ini juga telah menyampaikan sebanyak 706 Perda bermasalah kepada BPK untuk diawasi.
Perda dibatalkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dikategorikan karena alasan teknis yuridis seperti dasar hukum membentuk Perda tidak tepat, alasan yang bersifat substansial (materi muatan bertentangan dengan PUU) atau alasan yang dipandang prinsipil misalnya mengandung ketentuan yang diskriminatif atau melanggar HAM.
Beragamnya pertimbangan pembatalan Perda hingga kini tampaknya belum ada data konkrit mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya disharmonisasi Perda dengan PUU. Namun demikian jika dicermati kemungkinan besar dalam setiap pembentukan perda bermasalah terdapat satu atau lebih persoalan sebagai berikut:
1. Daerah menganggap dengan tidak adanya kerangka acuan yang jelas dalam membentuk Perda maka pembentukan Perda mengabaikan ketentuan-ketentuan prinsip mengenai asas dan materi muatan Pembentukan Perda sebagaimana ditetapkan UU No.10/2004 dan UU No.32 Tahun 20004.
2. Daerah memahami prinsip-prinsip pengaturan penyusunan Perda sesuai UU No.10/2004 dan UU No.32/2004 namun kurang kapasitas pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan teknik-teknik perumusan norma yang dinilai tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Kurangnya pemahaman dikalangan penyusun perda mengenai teknik penyusunan peraturan daerah yang antara lain disebabkan oleh kurangnya pengalaman penyusun perda mengenai ilmu pengetahuan perundang-undangan dan teknik penyusunan perda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Langkah-langkah pembinaan yang dilakukan oleh instansi Pusat kepada aparatur pemerintah daerah dalam penyusunan Perda kemungkinan belum optimal dan belum merata.
5. Belum adanya kerangka acuan yang jelas bagi daerah mengenai tata laksana harmonisasi Raperda sebagai salah satu instrumen penting dalam rangka menjaga harmonisasi Perda dengan PUU. Perpres tentang Tata Cara Mempersiapkan Perda hingga kini belum ditetapkan.
6. Bentuk-bentuk hubungan komunikasi, konsultasi, klarifikasi Raperda antara instansi Pemerintah dengan aparat terkait di daerah yang selama ini diterapkan kemungkinan kurang efektif.
7. Peran Gubernur dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan kabupatan/kota kemungkinan belum optimal.
Disamping hal-hal tersebut di atas, perlu cermati berbagai persoalan yang kemungkinan bersumber dari sisi Pemerintah yang mempersulit Pemda dalam menyusun Perda, antara lain:
1. PUU yang menjadi landasan atau pedoman Perda dalam menyusun Perda mengalami perubahan atau pergantian yang cepat dan daerah kurang siap menyikapi perubahan tersebut.
2. PUU menjadi landasan atau pedoman bagi daerah dalam menyusunan Perda terlambat diterbitkan.
3. Secara teknis, lingkup PUU yang harus diharmonisasi oleh daerah banyak dan beragam mulai dari UU sampai dengan Peraturan Menteri, sehingga proses harmonisasi Raperda membutuhkan waktu dan energi yang lebih banyak.
4. Inkonsistensi peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat dapat berdampak terjadinya kekeliruan daerah dalam menentukan ketentuan acuan hukum. Hal ini bisa juga terjadi dalam hal terdapat peraturan pelaksanaan yang dipandang tidak sesuai dengan dengan UU pokoknya.
5. Kurangnya sosialiasi peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan persepsi dan pemahaman antara aparatur daerah dengan instansi Pemerintah.
6. Ketidaksiapan Pemerintah dalam menyediakan ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan suatu urusan pemerintahan tertentu dapat mendorong daerah mengambil inisiatif-inisitaf sendiri dengan membuat peraturan atau kebijakan yang dapat bertentangan dengan PP.
7. Pendelegasian pengaturan suatu hal tertentu dalam PUU kepada Perda yang tidak jelas terutama lingkup materi muatan yang diperintahkan untuk diatur Perda, dapat mempersulit daerah dalam menyusun Perda. Pendelegasian pengaturan kepada peraturan daerah yang tidak spesifik menyebut tingkatan Perda dapat berpotensi menimbulkan perselisihan kewenangan dan tumpang tindih pengaturan.
8. Koordinasi antara instansi Pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peraturan daerah kemungkinan belum sinergis dan terpadu.
Sebagai saran dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU diharapkan Kementerian terkait yang diberi tugas menangani peraturan daerah agar segara mendesign program dan kegiatan bertahap dan terencana mulai dari kegiatan identifikasi permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah, penentuan program penanganan, evaluasi dan monitoring perkembangan mengenai intensitas dan bobot penerapan di semua daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar