Selasa, 08 Januari 2013

KONSEP PERUBAHAN PRILAKU ORGANISASI TERHADAP PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH OLEH : E R L I N D A

Perubahan organisasi (Organization Change) merupakan modifikasi substantive pada beberapa bagian organisasi. Oleh karena itu, perubahan dapat melibatkan hampir semua aspek dari suatu organisasi seperti jadwal pekerjaan, dasar untuk departementalisasi, rentang manajemen, mesin-mesin, rancangan organisasi, orang-orang di dalam organisasi itu sendiri, dan lain sebagainya. Setiap perubahan yang terjadi dalam organisasi memiliki dampak yang besar bagi organisasi itu sendiri. Dan tentunya perubahan itu diharapkan mampu memberi dampak positif yang membuat organisasi bisa berjalan secara efektif dan efisien. Perubahan organisasi merupakan suatu fenomena yang kompleks, sehingga seorang manajer tidak bisa melakukan suatu perubahan terencana secara langsung namun perlu perubahan secara sistematis dan logis agar memiliki suatu kesempatan realistic untuk berhasil. Untuk mengimplementasikan perencanaan untuk perubahan, manajer perlu memahami langkah-langkah yang efektif dan bagaimana mengatasi penolakan karyawan terhadap perubahan-perubahan yang efektif dan bagaimana mengatasi penolakan karyawan terhadap perubahan. Langkah-langkah dalam proses perubahan menurut Kurt Lwein yang kemudian disebut model Lewin adalah : 1. Unfreezing, yaitu proses penjelasan perubahan kepada individu yang akan terpengaruh oleh perubahan agar dapat memahami mengapa perubahan itu diberlakukan. 2. The Change it Self, yaitu perubahan itu sendiri, yang dimplementasikan / dihilangkan. 3. Refresing, yaitu proses penekanan dan mendukung perubahan sehingga ia menjadi bagian dari sistem.. Selain model Lewin, ada juga langkah lain seperti pendekatan komprehensif terhadap perubahan. Pendekatan ini memerlukan pandangan sistwm yang memaparkan serangkaian langkah-langkah spesifik yang sering menyebabkan keberhasilan suatu perubahan. Sebagai terapan dari konsep tersebut dalam pengaruh terhadap pelaksanaan Urusan Pemerintahan di Kabupaten , pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pelaksanaan urusan Pemerintahan Desa. Pengawasan menjadi isu sentral bersamaan dengan pelaksanaan Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Fungsi pengawasan diooptimalkan dan diefektifkan baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun Aparat Pengawas Fungsional Pemerintah (APFP). Memasuki era otonomi dan desentralisasi, sebagian besar tugas, fungsi, dan kewenangan Pemerintah Pusat beralih kepada Pemerintahan Daerah termasuk keuangan, kepegawaian, dan sarana prasarana. Peralihan tersebut memberi peran kepada Inspektorat Kabupaten memegang posisi strategis selaku penggerak terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Guna mencapai hal tersebut, maka aparat pengawasan perlu melaksanakan peran dan fungsinya sesuai dengan misi yang diembannnya dimana sebagai alat pengawasan dan berfungsi sebagai media pembinaan . dengan demikian harapan masyarakat adanya transparansi, integritas, akuntabilitas, keadilan, responsibilitas dan bebas dari praktikpraktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam mengisi otonomi daerah dapat terwujudkan sebagaimanayang kita harapkan bersama guna kemajuan daerah lebih lanjut. ( ERLINDA-HANURA-SKW-KALBAR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar