Senin, 06 Mei 2013
PENDEKATAN MASALAH BURSA TENAGA KERJA DAN MUTU KEPENDIDIKAN Oleh : Dwi Aptu Rina Ningsih.SH
Perbedaan antara ketentuan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan kependidikan nasional mengatur pelaksanaan program pendidikan dimana dalam rangka peningkatan mutu pendidikan ditur dengan ketentuan penyelenggaraan nya dengan membatasi jumlah siswa dikelas maksimal 25 orang namun ketentuan tersebut sulit dilaksanakan karena jumlah siswa yang ikut jadi peserta didik dari tingkat SD tidak tertampung oleh SMP seccara keseluruhan dan begitu juga tamatan SMP tak tertampung oleh SMA secara keseluruhan, maka solusinya adalah memnambah sekolah negeri namun keterbatasan dana itulah yang jadi masalah bagi pemerintah daerah dana pengembangan sarana prasarana serta bangunan tempat penyelenggaraan pendidikan, sehingga daya tampung lulusan siswa masing-masing satuan tingkat pendidikan dapat ditampung seleuruhnya.
Paradigma setelah lulus SMP harus melanjutkan ke SMA sebaiknya diubah, SMA tidak selamanya menjamin kesuksesan seseorang. Nampaknya kebijakan pemerintah memperbesar kuota kursi SMK akan efektif untuk mengurangi pengangguran ketika lulus. Selain itu juga untuk menyetarakan jender dalam pendidikan, khususnya bagi mereka yang memiliki mindset wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi (paling tidak dengan masuk SMK mereka akan memiliki spesialisasi pada bidang tertentu dan tidak terlalu bergantung pada laki-laki) serta untuk mengatasi keterbatasan ekonomi keluarga (umumnya lulusan SMK langsung bekerja, tidak seperti SMA yang perlu melanjutkan kuliah terlebih dahulu.
Masalah kedua adalah faktor yang mempengaruhi partisipasi keikut sertaan masyarakat dalam program kependidikan adalah faktor kemiskinan boleh dapat dijadikan alasan kuat penyebab minimnya akses pendidikan, namun bukan berati kebodohan harus berkorelasi dengan kemiskinan. Hal pertama yang luput dari perhatian kita adalah masalah pembelajaran mandiri yang bersifat semiformal melalui pemanfaatan perpustakaan Pembelajaran mandiri di perpustakaan sangat penting, kenapa? Karena dari perpustakaan lah masyarakat akanmencintai buku dan terbiasa membaca. Sehingga dengan demikian setidaknya kemungkinan minimnya pengetahuan dan informasi untuk si pengunjung dapat di reduksi. Karena tidak jarang kasus kebodohan ini terjadi bukan karena kebodohan akan tetapi minimnya waktu atau malasnya kita dengan aktivitas membaca mandiri, kesiapan belajar disini harus dimulai dari kesadaran individu sedini mungkin.
Dari surve yang pernah dilakukan oleh LD FEUI Walaupun kualitas SDM masih rendah (Sakernas th.2000 : 60% angkatan kerja hanya berpendidikan SD; 16 % lulus SLTP; 19,4 % lulus SMU), rasa optimistis kita jangan sampai sirna. Proyeksi angatan kerja Indonesia pada tahun 2005 106,8 juta akan menjadi 148,5 juta pada tahun 2025 Diharapkan yang menempati posisi angkatan kerja tersebut oleh mereka yang tingkat pendidikannya lebih baik (kelahiran tahun 1985-2010) yang dibesarkan pada era ekonomi tinggi dan era elektronika dan IT.
Pemerintah haruslah bertindak reaktif aksioner dalam menunjang pendidikan dan perpustakaan dengan memberikas akses perlengkapan sarana dan prasarana seiring itu pemerintah juga konsentrasi pada bidang kesehatan dan gizi terjangkau, selain itu juga bisa memperluas jangkauan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, mempertahankan anak agar tidak DO, mengupayakan pendidikan 9 tahun kemudian 12 tahun dst tercapai pada tahun 2020, serta meningkatkan daya saing modal Indonesia. Yang pasti banyak alasan kenapa masalah indeks pendidikan menurun ini bisa terjadi, namun sedikit tadi sekiranya mampu memberikan gambaran secara garis besar kepada kita semua bahwa kebodohan tidak selalu berkorelasi dengan kemiskinan meskipun hal tersebut menjadi identifikasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar