Rabu, 16 Oktober 2013

JALAN TENGAH MASALAH PILKADA KITA KEMBALI PADA UU NO.5 TAHUN 1974 ATAU UU NO.22 TAHUN 1999 Oleh : RICKY IDAMAN SH.MH

Memang kita harus mengakui antara disign dan desolen itu tak kan pernah sama apa lagi sama persis malah hasil ya akan bernlai terbalik dan bertentangan satu dengan lainnya sehingga kepecayaan dalam sebuah kepemimpinan akan melorot pada kondisi tersebut. Berangkat dari pembicaraan dan pembahasan metro TV dari petinggi negara dalam acara Indonesia bersuara tanggal 15 October 2013 jam 20-22 wib yang dihadiri oleh Wakil Komisi II DPR-RI dari partai PDI.P Ari Wibowo dan Partai Demokrat Wakil Komisi II DPRI Kutibul Uman Wiranum Partai PAN Abdul Hakam Naja, serta anggota Wantimpres Ryas Rasyid yang membahas tentang kondidi bangsa saat ini dalam berdemokrasi telah menjurus kepada kepemimpinan Oligarkhi neotokrasi dan demokrasi berpola kroninisasi (penguasaan daerah oleh satu kelompok) dan yang dilahirkan dari proses demokrasi yang berkembang jauh dari teoritis dan konseptual nya. Dalam penyampaian Ari Wibowo memnyampaikan bahwa pemilihan yang lasung itu adalah Presiden dan wakil presiden dan dibatasi kepada penentuan kepala Daerah hanya sebatas Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Kepala Daerah Kabupaten dan Kota dipilih dan di tunjuk oleh DPRD. Bahkan Kutibul Uman Wiranum menyampaikan lebih tinggi lagi pembatasan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Tentukan DPR-RI selaras dengan pemikiran Abdul Hakam Naja dan menyampaikan bahwa selama ini kita telah banyakpelajaran dari masa lalu pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini sejarah inilah membuat kita harus bangkit menyadari sepenuhnya bahwa demokrasi yang bagaiman ideal buat kita bangsa Indonesia harus selaras dengan nilai dasar yang pondamental " Panca Sila dan UUD 1945 yang sifatnya mengikat konsep dan pola hidup berkehiduan berbangsa bernegara secara murni dan konsekwen. Ryas Rasyid sebagi pencetus otonomi daerah juga membenarkan pemikiran ini lahirnya UU nO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah itu adalah meniiwai UU No.5 Tahun 1974 tentang pemerintah daerah yang harus dikembangkan dengan konsep demokratisasi, namun setelah berjalan pada langkah pertama lansung diubah oleh penguni ruang DPR-RI dengan membangun UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerntah daerah dengan membuka seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya tentang penyelenggaraan pemerintah daerah, sementara kemampuan mengontrol bagi sistem kekuatan nasional belum mapan dan belum kuat dalam memberikan pengawasan secara tegas, beliau mengatakan bahwa demokrasi untuk pemerintah daerah harus dibatasi oleh sistem yang dikendalikan secara kosepsional dan aktualisasinya selaras dengan UU No.22 Tahun 1999 sebuah perimbangan balance kepemerintahan daerah di masa lalu UU no.5 tahun 1974 yang sifat nya centralisasi total. Kesimpulan dalam pembahasan dari petinggi negara tersebut dapat di simpulkan bahwa menuju harmonisasi kepemimpinan dari proses demokrasi itu diperlukan akta outentik dalam bentuk terbuka dan tertutup sehingga dalam melaksanakan prose tersebut harus menemukan nilai-nilai dasar demokrasi teraplikasikan secara ditail dengan menitik berakan kepada nilai-nilai dasar efektifitas dan produktifitas serta elektabilitasnya terukur dan teruji dan dapat dikembangkan secara terukur dan terarah dengan dasar yang kukuh dalam panca sila dan UUD 1945. Dengan demikian kita bersyukur juga karena para pemimpin bangsa sekarang sudah melirik akan konsep rde baru yang memunginkan di pakai guna melaksanakan Demokrasi yang tepat bagi bangsa Indonesia kedepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar