Minggu, 20 November 2011

PENDEKATAN MASALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ARTIKEL: Ricky Idaman.S.SH.MH

Orientasi Umum

Peraturan dan perundang-undangan adalah rambu-rambu dalam penyelenggaraan kenegaraan berfungsi sebagai alat dan peralatan dalam menyelenggarkan kepemimpinan kenegaraan, sehingga mempunyai legalitas dalam penetapan serta pengambilan keputusan.

Dalam pembuatan Peraturan perundang-undangan itu juga mempunyai aturan-aturan yang mengacu kepada beberapa kajian-kajian diantarnya (1) kajian Sosiologi (2) kajian Yuridis (3) Kajian Filosofi ketiga unsur kajian itu adalah dasar dalam pembuatan penetapan pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan sehingga setelah di tetapkan tidak di kliem oleh masyarakatnya sendiri.
Seperti yang kita lihat sekarang dari sekian banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia telah di kliem sebanyak 490 buah termasuk Peraturan daerah dimana yang telah di kabulkan untuk dibatalkan oleh Makamah konstitusi sebanyak 90 buah Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan oleh Negara.

Klarifikasi Gugatan terhadap Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan konsepsi hukum peraturan perundang-undangan itu sebagai pedoman dan dasar dalam pengambilan keputusan oleh Negara dalam penyelenggaraan kenegaraan sehingga mempunyai legalitas dalam penetapannya, Yang dijadikan masalah adalah lembaga pentap Peraturan Perundang-undangan tersebut kemudian kita sebut dengan DPR-RI/DPRD dari beberapa aspek penilian yakni (1) Aspek Kemampuan Akademis dalam pembuatan Peraturan Perundang-undangan (2) Aspek Kepribadian dan moralitas personal atau kelompok dalam lembaga legislative (3) Aspek Kontrak Politik.
Secara sosiologi yakni hubungan emosional kemasyarakatan kaitan dengan hubungan kepentingan dengan masyarakat itu sendiri secara personal maupun secara kelompok masyarakat sehingga melahirkan kepentingan-kepentingan yang terlindungi untuk perseorangan atau kelompok orang, sehingga ada pihak yang dirugikan, maka disinilah penetapan Peraturan Perundang-undangan itu di kliem oleh masyarakat yang juga punya kepentingan dari penggugatan tersebut.

Dari pengamatan yang kami lakukan semenjak 5 tahun terhitung dari tahun 2006 hingga sekarang ini banyak kita temui kejanggalan dalam pengaturan penyelenggaraan kepemerintahan diantaranya (1) Peraturan perundang-undangan Swastanisasi terhadap BUMN (2) Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan bidang kependidikan seperti Badan hukum Pendidikan dan kurikulum nasional (3) Peraturan tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam terkait dengan industry serta investasi.

Sebuah pendekatan masalah dimana katagori Peraturan dan Perundang-undangan itu terkait dengan status dan kedudukan serta tempat penetapanya dimana kita dapat menyatakan beberapa hal sebagai berikut (1) Tempat Badan Lembaga Penetapnya (2) Ruang Lingkup batasan pengaturan Penetapannya (3) Ruang lingkup batasan pemerlakuanya. pekerjaan yang sulit untuk dilakukan

Dalam pembedaan kliem murni atau bukan karena kita harus melihat pendalaman kajian yang sangat mendalam dengan menggunakan banyak metode-metode sampai saat ini wujutnya masih berupa “hipotesa” artinya sebuah kesimpulan sementara dan belum merupakan hasil akhir dari sebuah kajian yang bisa di perrtangungjwabkan secara ilmu pengetahuan “Logika” kita harus mengetahui dengan jelas tentang beberapa hal diantaranya (1) Posentasi kemampuan masyarakat dalam melihat,membaca, memahami aturan peraturanya (2) evaluasi dan kajian arah maksud dan tujuan dari gugatan yang diajukan dari badan atau lembaga yang ditunjuk / digunakan masyarakat (3) peninjauan dan pendekatan politis dan yuridis terkait dengan kepentingan gugatan.
Solusi dan Perbaikan menuju kesempurnaan

Bila kita bicara masalah kesadaran politik kita tidak hanya melihat dari sisi partisipasi masyarkat terhadap keikut sertaanya dalam Pemilihan umum (Pemiliu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) atau Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) saja, namun kita harus melihat dengan tajam kesadaran politik masyarakat itu dengan mengetahui beberapa apek lainnya yang sangat pentimng yakni (1) Kesadaran dan Pengetahuan Hukum bagi masyrakat luas (2) Upaya Penegakan Hukum / supremasi hukum dalam masyarakat dalam arti luas maupun dalam arti sempit (3) Pembentukan karkateristik dan kemampuan serta kemapanan dalam menentukan sikap.

Dengan demikian maka pemerintah wajib melaksanakan Pendidikan Pembekalan Ilmu Pengetahuan Sosial Politik dan Hukum dan Sistem pola Pertahanan Keamanan Nasional (Hamkamnas) dalam ruang lingkup Wawasan Nusantara dan wawasan Wiyatamandala, melalui program pelatihan pendidikan dengan melibatkan seluruh masyarakat, sehingga diharapkan masyarakat Indonesia mempunyai mutu dan kualitas seperti yang diharapkan bersama guna mewujutkan stabilitas politik dan keamanan.

Selain daripada itu diharapkan akan lahirlah manusia Indonesia yang mempunyai sikap dan prilaku serta berkepribadian setia dan bela Negara dalam rangka membentuk kesetia kawanan nasional berbangsa bernegara menuju Indonesia bersatu. (R.221111)

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG KEPENDIDIKAN NASIONAL Artikel : Ricky Idaman .S. SH.MH

Pengantar

Dalam Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu keseimbangan adalah sebuah dikur sama panjang, ditimbang sama berat, digerakan sama kuat sehingga dari keseimbangan tersebutlah semua akan menjadi bermamfaat, ditambah dengan konsep ilmu gerak dengan perbedaan arah putar pada sumbu yang berbeda akan menjadi sebuah gerakan hal ini kita dapatkan pada benda gardan atau sumbu roda mobil (alat pemutar roda )
Bila kita bawakan kedalam ilmu sosial kemasyarakatan suatu tingkah laku dan perbuatan dimana kita bis atau mampu membuat serta membentuk rasa keadilan sehingga satu sama lainnya menjadi senang, dengan demikian maka terbentuklah hubungan sosial kemasyarakatan yang baik seperti yang kita harapkan menuju kebersamaan dan perdamaian serta kenyamanan hidup yang hakiki .
Sebuah ide dan gagasan yang betumpu pada nilai-nilai hidup berbangsa bernegara diwarnai dengan kebersamaan dengan menunjung tinggi harkat dan martabat bangsa negara gua mewujutkan masyarakat yang madani.

Pendekatan Teroritis dan Konsepsional

Bila kita mendasari segala sesuatunya dedngan ilmu dan pengetahuan maka kita akan dapat mernjawab dengan benar tentang hal yang dipertanyakan, sekaligus kita mampu mengatasi masalah apa yang kita hadapi dengan penyelesaian yang memuaskan dengan rumusan yang dapat diterima dengan logika.

Ini tantangan pembentukan kepribadian manusia yang kita tahu sejak lahir keduania ini selalu di lumuri dengan kondisi politik dan polimik, sebuah abstraklsi yang nyata umpama seorang bayi menangis saat nya dia haus, terbangun dari tidur karena ngompol, dengan tangisan itulah komunikasi antara seorang ibu/bapak tahu dan melakukan intra aksi dengan sang bayi dengan mengamati sebab dab musabab sang bayi menangis, dan setelah terjawab masalahnya sang bayipun kembali tenang. Artinmya seorang bayi melakukan intra aksi dengan orang tuanya dengan menangis, saat itu itu baru yang dapat dilakukannya.

Ini sebuah pengetahuan yang pertama melekat pada dirinya dibawa sejak lahir sebagai anugrah yang kuasa dan sekaligus alat komunikasi yang handal bagi sang bayi sehingga mampu menyampaikan apresiasinya kepada ayah dan ibu.

Kertika sang bayi telah menjadi anak-anak dia hanya baru bisa m,enuntut apa yang dia inginkan dan kecenrungan memaksakan kehendak pada diri orang lain tanpa peduli apa yang didapai orang tuanya, pada masa itulah dia berikan tuntunan dan arahan untuk dapat mencerna masalah melalui bimbingan-bimbingan dan petunjuk, sikap orang tua membuat keselarasian dan kesimbangan kepentingan tanpa membuat sensasional-sensaional terkadang ini sangat membahayakan kondisi dan situasi dan tidak membuat konplikasi-konplikasi.
Sebesar apapun konplik yang muncul akan membahayakan rumah tangga yang di bina dan akan mempengaruhi hubungan kemasyarakatan nantinya.

Pada terment berikutnya bayi kecil mungil dan lucu itu telah beranjak remaja menuju dewawa, kini dia tak menangis lagi untuk berintra aksi dengan orang tuanya sekarang dengan dialog dan menyampaikan keinginan hatinya untuk di penuhi orang tuanya, dalam dialog banyak yang perlu di perhatikan dan dicermati diantaranya, sikap cara bicara dan menanggapi penjelasan standar yang baik adalah dialogis dan komunikatif serta logis, sehingga dalam ber intra aksi dapat respon yang baik untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang dihadapi.

Artinya apa ..? pendidikan kemasyarakatan yang baik atau kehidupan masyarakat yang buruk yang kita saksikan itu datang dari lingkungan keluarga sebagai sebuah pembentuk utama karakteristik masyarakat dimana masyarakat itu berada.

Konsep Perbaikan Hubungan Sosial Kemasyarakat

Seperti yang diungkapkan pada kalimat sebelumnya bahwa semua yang ada di tengah-tengah masyarakat sekarang ini adalah hasil pendidikan keluarga, terkadang kita juga berpikir dengan penungkapan “ 3 B “ ada benarnya bila ini di perhatikan dalam memilih dan menentukan pilihan dalam bentuk apa saja alam hidup berkehidupan guna mengapai harapan yang baik kedepan untuk generasi ke generasi mendatang.
Pada titik penentuan dalam pembentukan menuntut adanya pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter yang intinya adalah sebagi berikut (1) moral (2) kepribadian (3) kebiasaan (4) bawaan (5) watak (6) pemikiran (7) wawasan (8) intelegensi (9) pembekalan ilmu pengetahuan (10) pola hidup berbangsa bernegara.
Keluarga adalah badan atau lembaga pembentuk karakter manusia maka dari sinilah kita berangkat untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara guna menuju yang lebih baik kedepan menuju kesempurnaan.

Pola Pertangungjawaban Pendidikan Sosial Kemasyarakatan

Disini kita bukan saja membicarakan lembaga pembentuk penyelenggaraan kependikan namun kita mengarahkan kepada komitment dalam pembentukan kependidikan yang baik dalam masyarakat. Berdasarkan UU nomor:20 Tahun 2004 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dasar pedoman pokoknya adalah tangungjawab pemerintah bersama masyarakat. Lalu sampai dimana kita menghayatinya…?

Jangkauan dari penetapan ini adalah (1) Tangungjawab (2) pola penerapan dan pengembangan metode / cara kerja serta proses penyelenggaraan (3) pertangungjawaban penyelenggaraan.

Ukuran dari penentuan kesuksesan program adalah program penyelenggaraan oleh lembaga pemerintah diringi oleh partisipasi keluarga serta masyarakat secara menyeluruh. Ini sebuah kebijakan yang mengarah kepada nilai-nilai dan norma-norma aturan yang mengacu kepada maksud dan tujuan kependidikan yang membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang beriilmu berpengetuan seimbang dengan (1) sikap dan prilaku yang saling memuliakan sesama dan berpikir positifisme paling utama, (2) meletakan jiwa rasa kebersamaan untuk nusa bangsa melalui pendidikan yang baik dengan program yang terukur dan terarh pasti bisa (3) menyeimbangkan kemampuan itelektual dengan kemampuan Emosional dengan orientasi dan wawasanya “ Controlling Of Emosional Social Quality balance “ ini indikasi utama keintektualan.

Penutup

Saya diingatkan oleh Filsafat dasar pemikiran filosof dalam konsep Zoon Politicum “Aristoteles” membangun negara berangkat dari keluarga “ sebuah konsep maha pentingnya pendidikan keluarga/rumah tangga dan dampak pengaruh nya dalam pengembangan penuntasan konplik dan polimik hidup berkehidupan di tengah masyarakat guna membangun masyarakat yang madani.

Korelasi uraian ini ada sebuah harapan kami yakni ingin kita sesama kita saling koreksi diri dihubungkan dengan penomena yang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat merenugkan bagaimana kita rakyat indonesia dari generasi kegenerasi kita menuju kearah menjadikan hari-hari kita “ lebih baik kedepan lebih sempurna “ the win of soltion for us (Ricky.21111)



Label artikel : Pembangunan Pendidikan kemasyarakatan
Addres : http:///blogspot.aryestya Vrya .com///
Tanggal : SKW 21 November 2011

Rabu, 16 November 2011

PORTOFOLIO BAGI STAF PENGAJAR " By " Ricky Idaman SH.MH

Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, komponen portofolio meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru (khususnya guru dalam jabatan) untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik.
Portofolio juga berfungsi sebagai: (1) wahana guru untuk menampilkan dan/atau membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung; (2) informasi/data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan; (3) dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi (layak mendapatkan sertifikat pendidikan atau belum); dan (4) dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru.

B. Komponen Portofolio
Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan, komponen portofolio meliputi:
1. kualifikasi akademik,
2. pendidikan dan pelatihan,
3. pengalaman mengajar,
4. perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
5. penilaian dari atasan dan pengawas,
6. prestasi akademik,
7. karya pengembangan profesi,
8. keikutsertaan dalam forum ilmiah,
9. pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan
10. penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Kualifikasi akademik yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan guru mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar (S1, S2, atau S3) maupun nongelar (D4 atau Post Graduate diploma), baik di dalam maupun di luar negeri. Bukti fisik yang terkait dengan komponen ini dapat berupa ijazah atau sertifikat diploma.
Pendidikan dan Pelatihan yaitu pengalaman dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan/atau peningkatan kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Bukti fisik komponen ini dapat berupa sertifikat, piagam, atau surat keterangan dari lembaga penyelenggara diklat.
Pengalaman mengajar yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang (dapat dari pemerintah, dan/atau kelompok masyarakat penyelenggara pendidikan). Bukti fisik dari komponen ini dapat berupa surat keputusan/surat keterangan yang sah dari lembaga yang berwenang.
Perencanaan pembelajaran yaitu persiapan mengelola pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam kelas pada setiap tatap muka. Perencanaan pembelajaran ini paling tidak memuat perumusan tujuan/kompetensi, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan sumber/media pembelajaran, skenario pembelajaran, dan penilaian hasil belajar. Bukti fisik dari sub komponen ini berupa dokumen perencanaan pembelajaran (RP/RPP/SP) yang diketahui/disahkan oleh atasan.
Pelaksanaan pembelajaran yaitu kegiatan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas. Kegiatan ini mencakup tahapan pra pembelajaran (pengecekan kesiapan kelas dan apersepsi), kegiatan inti (penguasaan materi, strategi pembelajaran, pemanfaatan media/sumber belajar, evaluasi, penggunaan bahasa), dan penutup (refleksi, rangkuman, dan tindak lanjut). Bukti fisik yang dilampirkan berupa dokumen hasil penilaian oleh kepala sekolah dan/atau pengawas tentang pelaksanaan pembelajaran yang dikelola oleh guru dengan format terlampir.
Penilaian dari atasan dan pengawas yaitu penilaian atasan terhadap kompetensi kepribadian dan sosial, yang meliputi aspek-aspek: ketaatan menjalankan ajaran agama, tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, keteladanan, etos kerja, inovasi dan kreativitas, kemamampuan menerima kritik dan saran, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan bekerjasama dengan menggunakan Format Penilaian Atasan terlampir.
Prestasi akademik yaitu prestasi yang dicapai guru, utamanya yang terkait dengan bidang keahliannya yang mendapat pengakuan dari lembaga/panitia penyelenggara, baik tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Komponen ini meliputi lomba dan karya akademik (juara lomba atau penemuan karya monumental di bidang pendidikan atau nonkependidikan), pembimbingan teman sejawat (instruktur, guru inti, tutor), dan pembimbingan siswa pada kegiatan ekstra kurikuler (pramuka, drumband, mading, karya ilmiah remaja-KIR). Bukti fisik yang dilampirkan berupa surat penghargaan, surat keterangan atau sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga/panitia penyelenggara.
Karya pengembangan profesi yaitu suatu karya yang menunjukkan adanya upaya dan hasil pengembangan profesi yang dilakukan oleh guru. Komponen ini meliputi buku yang dipublikasikan pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional; artikel yang dimuat dalam media jurnal/majalah/buletin yang tidak terakreditasi, terakreditasi, dan internasional; menjadi reviewer buku, penulis soal EBTANAS/UN; modul/buku cetak lokal (kabupaten/kota) yang minimal mencakup materi pembelajaran selama 1 (satu) semester; media/alat pembelajaran dalam bidangnya; laporan penelitian tindakan kelas (individu/kelompok); dan karya seni (patung, rupa, tari, lukis, sastra, dll). Bukti fisik yang dilampirkan berupa surat keterangan dari pejabat yang berwenang tentang hasil karya tersebut.
Keikutsertaan dalam forum ilmiah yaitu partisipasi dalam kegiatan ilmiah yang relevan dengan bidang tugasnya pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, atau internasional, baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta. Bukti fisik yang dilampirkan berupa makalah dan sertifikat/piagam bagi nara sumber, dan sertifikat/piagam bagi peserta.
Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial yaitu pengalaman guru menjadi pengurus organisasi kependidikan dan sosial dan atau mendapat tugas tambahan. Pengurus organisasi di bidang kependidikan antara lain: pengurus PGRI, Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI), Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), Ikatan Sarjana Manajemen Pendidikan Indonesia (ISMaPI), dan asosiasi profesi kependidikan lainnya. Pengurus organisasi sosial antara lain: ketua RT, ketua RW, ketua LMD/BPD, dan pembina kegiatan keagamaan. Mendapat tugas tambahan lain: kepala sekolah, wakil kepala sekolah, ketua jurusan, kepala laboratorium, kepala bengkel, kepala studio. Bukti fisik yang dilampirkan adalah surat keputusan atau surat keterangan dari pihak yang berwenang.
Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan yaitu penghargaan yang diperoleh karena guru menunjukkan dedikasi yang baik dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kriteria kuantitatif (lama waktu, hasil), kualitatif (komitmen, etos kerja), dan relevansi (dalam bidang/rumpun bidang), baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Bukti fisik yang dilampirkan berupa fotokopi sertifikat, piagam, atau surat keterangan.

Jumat, 04 November 2011

PROVINSI SUMATRA BARAT MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI SELURUH WILAYAH KABUPATEN DAN KOTA

Gubernur sumatra Barat H.Irwan Prayetno didampingi oleh Kepala Dinas Pendidikan Prov Sumbar " Drs.Syamsulrizal MM" menyampaikan bahwa meminta keseriusan dalam membangu Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) pada rapat koordinasi gubernur dan dengan Kepala Daerah se Kabupaten/kota sesumatra barat dengan melakukan upaya peningkatan mutu pendidikan melaui peningkatan kependidikan guru melalui program S.2 kemudian daripada itu gubernur Sumatra Barat menemukan ada beberapa daerah yang melaksanakan mutasi Kepala Sekolah tanpa memperhatikan Peraturan dan aturan Mentri Pendidikan Nsional.

Pada sesi lain Gubernur Sumatra barat juga menyampaikan agar sekolah melalui Pemerintah daerah berusaha memenuhi standar mutu sekolah dengan melengkapi sarana dan prasarana penyempurnaan kelas , labor dan perpustakaan yang memadai secara umum untuk keseluruhan di khususkan untuk sekolah yang dianggap mapan di jadikan RSBI. sebagai langkah kongkrit irwan prayetno telah mengirim sebanyak 98 orang guru magang ke Australia dan akan ditempatkan diseluruh wilayah kota dan Kabupaten se Sumatra Barat.

Kendala peningkatan mutu pendidikan secara umum

Dari wawancara dengan beberapa kepala sekolag di Sumatra barat yang telah kami lakukan seperti di SMP.Negrei 2 Bukittinggi " Drs.Amri Jaya M.Pd" tampak agak oktomis melihat kemungkinan untuk mengembangkan lebih jauh sekolah yang dipimipinannya namun dihadapkan kepada masalah pembiayaan menurut nya bahwa dalam mengambil kebijakan kependidikan harus sangat hati-hati sekali sebab dengan mudah akan menjungkalkan jabatan yang di emban dengan sangkaan dugaan korupsi atau penyalahgunaan jabatan dengan sanksi penjara, sungguh menyakitkan.

Hal ini juga kami konfirmasikan dengan anggota DPRD Kota Kota Bukittinggi " Syukri " dari partai Golkar dan " Maderizal " dan Kamasril katik Kayo " dari Partai Demokrat menyampaikan menurut pendapat nya bahwa ini masalah serius yang harus ditangani pemko Bukittinggi dengan memaksimalkan DAU dan DAK serta PAD yang telah dianggarkan , dan kami sedang mempersiapkan Peraturan daerah tentang Kependidikan yang sekarang baru pada tahap draff dan segara kami undangkan guna memperjelas pelaksanaan tugas dan fungsi serta kewenangan Kepala sekolah sesuai dengan ketentuan otonomi pendidikan dan otonomi sekolah, tambahnya (Maderizal) (Ricky NN. 014)

Minggu, 23 Oktober 2011

PENGEMBANGAN PERTANIAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INDONESIA KEDEPAN LEBIH BAIK Oleh : Ricky Idaman SH.MH Alumni Program Pasca Sarjana Unand – Padang Sumbar – 2007

Gambaran Umum Pembahasan ;

Dalam upaya mewujudkan negara yang maju dan mandiri serta masyarakat adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus peluang. Tantangan paling fundamental adalah upaya Indonesia untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta pemerataan pembangunan secara berkesinambungan. Untuk menjawab hal tersebut, diperlukan peningkatan efisiensi ekonomi, produktivitas tenaga kerja, dan kontribusi yang signifikan dari setiap sektor pembangunan.
Pembangunan sarana dan prasarana fasilitas umum tampak di utamakan pembangunan fisik berupa bangunan sehingga lahan pertanian perkebunan dan kehutanan terancam punah oleh kebijakan pemerintah dimasa sekarang.
Terkait dengan keseimbangan dan kesinambungan alam sktor agrobisnis dianggap sebuah pokok tujuan mebnagunan nasional dengan memberdayakan alam menjadi sumber kehidupan dimana mampu menghasilkan produktifitas yang siap memfasilitasi kebutuhan manusia menuju efektifitas program pembangunan nasional dalam era moderenisasi, sebuah antisipasi arus global yang mengarah kepada industry.
Melalui program pembinaan dan pengembangan sector pertanian dalam bentuk agrobisnis akan mampu menopang kebutuhan ektor industry berupa pemenuhan kebutuhan bahan baku yang akan di olah, namun dalam hal ini kita dihadapkan kepada masalah-masalah lahan yang tersedia semakin menipis sehingga kita banyak mengimport bahan baku untuk industry khusus bidang makanan siap saji seperti mie instan degan bahan dasarnya tepung terigu.
Efek Politik serta dampak yang ditimbulkan ;
Indonesia merupakan salah satu negara agraris dan maritim terbesar di dunia. Dengan potensi sumber daya dan daya dukung ekosistem yang sangat besar, Indonesia dapat menghasilkan produk dan jasa pertanian, perkebunan dan perikanan secara meluas (seperti bahan pangan, serat, bahan obat-obatan, dan agrowisata/ekowisata/wisata bahari) yang mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia.
Sementara itu, pertambahan jumlah penduduk dunia, kenaikan pendapatan dan perubahan preferensi konsumen telah menyebabkan permintaan terhadap produk dan jasa pertanian akan terus meningkat. Oleh karena itu, sektor pertanian, perkebunan dan perikanan mempunyai peranan yang semakin strategis saat ini dan di masa depan, baik secara ekonomis ataupun politis.

Dengan semakin meningkatnya permintaan produk dan jasa di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan secara global, sementara penawaran diperkirakan relatif konstan, maka secara ekonomis produk dan jasa pertanian, perkebunan dan perikanan akan menjadi kompetitif. Dalam hubungan internasional, produk pertanian, perkebunan dan perikanan (khususnya pangan) acapkali keluar dari ujudnya sebagai tradable goods untuk konsumsi, menjadi diplomatic goods untuk tujuan politis.
Food Weapon as apart of trade war sering digunakan oleh negara-negara besar terhadap lawan politiknya seperti embargo AS terhadap Kuba, Iran, Irak, dan Libia. Oleh karena itu, bagi negara berkembang seperti Indonesia, mencukupi kebutuhan sandang dan pangan bagi penduduknya berarti sekaligus memperkuat posisinya dalam percaturan politik internasional.

Dengan perkataan lain, stabilitas politik suatu negara tidak akan mudah tergoyahkan bila kondisi pangan dan sandangnya mapan. Tantangannya bagi sektor pertanian, perkebunan dan perikanan saat ini adalah menyikapi perubahan pada sisi permintaan yang menuntut kualitas yang tinggi, kuantitas yang besar, ukuran relatif seragam, ramah lingkungan, kontinuitas produk dan penyampaian produk secara tepat waktu.
Dari sisi penawaran yang berkaitan dengan produksi terdapat beberapa faktor yang harus dicermati, terutama masalah penurunan luas lahan produktif, perubahan iklim secara tidak menentu akibat fenomena El-Nino dan pemanasan global, adanya penerapan bioteknologi dalam proses produksi dan pascapanen, dan aspek pemasaran produk.
Untuk menjawab sejumlah tantangan ini, maka diperlukan perubahan mendasar dalam pembangunan pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional secara konseptual maupun operasional. Pada era globalisasi sekarang ini, daya saing tidak sepenuhnya bertumpu kepada upah buruh rendah dan sumber daya alam berlimpah, tetapi lebih ditentukan oleh penguasaan informasi, teknologi, dan keahlian manajerial.
Reformasi kebijakan pembangunan pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk di dalamnya untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penerapan hasil-hasil penelitian (iptek) menjadi suatu kebutuhan mendesak untuk segera dilaksanakan secara sistematis.

Potensi (supply capacity) Indonesia saat ini dengan luas baku sawah 8,23 juta ha dan wilayah teritorial laut seluas 5 juta km2, menunjukkannya menjadi salah satu negara agraris dan maritim terbesar di dunia. Karena itu, semestinya memiliki keunggulan komparatif untuk menjadi negara yang bukan saja dapat berswasembada pangan, tetapi juga dapat menjadi pengekspor utama berbagai produk dan jasa yang berasal dari industri pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk bahan pangan, papan, sandang (serat), obat-obatan, kosmetika, bioenergy, agrowisata/ekowisata/wisata bahari, dan bahan baku untuk berbagai industri hilir.
Dari sisi permintaan, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia dan peningkatan kualitas hidupnya, maka permintaan terhadap berbagai produk dan jasa tersebut akan berlipat ganda di masa-masa mendatang.

Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan juga dapat menyerap jumlah tenaga kerja paling banyak persatuan usaha dibanding sektor pembangunan lainnya. Sampai saat ini masih sekira 55% dari total tenaga kerja Indonesia berada di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Selain itu, karena sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan memiliki keterkaitan industri hulu dan hilir yang kuat serta beragam, maka sektor-sektor ini pun dapat menciptakan efek pengganda (multiplier effects) yang bisa menjadi tulang punggung dari pembangunan suatu wilayah.
Oleh karena sebagian besar kegiatan sektor pertanian berada di wilayah pedesaan dan pesisir yang dikerjakan oleh rakyat banyak, maka sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan juga dapat membantu mengatasi masalah urbanisasi kurang terdidik/terampil yang selama ini menjadi salah satu permasalahan nasional utama.

Dengan demikian, sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan sesungguhnya merupakan basis ekonomi kerakyatan yang harus agenda utama pembangunan nasional. Bahkan, di masa krisis ini pun sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan lah yang dapat menolong bangsa Indonesia keluar dari berbagai kesulitan sosial-ekonomi.
Hal ini berdasarkan pada fakta empiris, bahwa tiga permasalahan mendasar pada masa krisis, yaitu kekurangan sembako, menurunnya kesempatan kerja dan berusaha, sehingga banyak tenaga yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menurunnya perolehan devisa. Ketiga permasalahan besar tersebut ternyata dapat ditanggulangi melalui penguatan dan pemberdayaan agribisnis dan agroindustri. Kendati demikian, mengingat potensinya yang sedemikian besar, semestinya sektor pertanian dapat berkinerja lebih dari yang ada sekarang dan dapat berkontribusi secara lebih signifikan bagi pembangunan nasional.

Apabila pembangunan pertanian, perkebunan, dan perikanan dari mulai subsistem produksi, pascapanen (penanganan dan pengolahan hasil), sampai pemasaran dikerjakan secara profesional dan berbasis iptek, maka keunggulan komparatif yang dimiliki oleh ketiga sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan akan menjelma menjadi sebuah keunggulan kompetitif yang merupakan asset utama bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Keunggulan kompetitif ini hanya dapat terwujud jika lingkungan bisnisnya, yang meliputi kebijakan fiskal dan moneter, prasarana dan sarana, sistem hukum dan kelembagaan, dan SDM dan iptek, bersifat kondusif bagi tumbuh-suburnya usaha pertanian, perkebunan, dan perikanan secara efisien, produktif, dan berdaya saing tinggi.

Pola pembangunan pertanian, perkebunan dan perikanan semacam inilah yang diterapkan di negara-negara maju (Kanada, Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, Jepang, Australia, dan Selandia Baru), sehingga sektor-sektor ini menjadi salah satu pilar utama kemajuan, kemakmuran, serta kemandirian mereka.
Perlu kiranya diperhatikan bahwa tidak ada satupun negara maju dengan jumlah penduduk besar yang tidak didukung oleh industri pertanian (dalam arti luas, termasuk di dalamnya perkebunan, perikanan dan kehutanan) yang maju dan tangguh. Bahkan, sekira 45% dari total nilai ekspor AS hingga saat ini masih berasal dari produk dan jasa yang berbasis pada pertanian dalam arti luas tersebut.
Sebaliknya, bekas negara adidaya Uni Soviet mengalami keterpurukan pembangunan dan menjadi negara berkembang disebabkan antara lain oleh karena bangsa ini menomorduakan pembangunan sektor-sektor di atas.

Persoalannya adalah bahwa kinerja sektor pertanian di Indonesia terkesan terus mengalami penurunan ditinjau dari berbagai indikator keragaan (performance indicator). Tingkat pertumbuhan, kontribusi terhadap GDP, pendapatan (daya beli) petani/nelayan, perolehan devisa (nilai ekspor) dari sektor pertanian dan perkebunan misalnya, terus menurun dari tahun ke tahun.
Sementara itu, aliran impor berbagai produk dan komoditas pertanian dan perkebunan pun semakin membanjiri Indonesia seperti impor beras dan gula dengan dalih membantu petani. Berbeda dengan di negara-negara maju seperti diuraikan di atas, citra pertanian dan perkebunan di Indonesia justru seolah-olah simbol dari keterbelakangan.

Berbeda dengan sektor perikanan, produksi perikanan tangkap pada tahun 2000 sebesar 4.112.403 ton meningkat sebesar 2,55% dari tahun 1999 atau terus meningkat selama tahun 1990-2000 sebesar 4,89%. Namun demikian, peningkatan perikanan masih belum memberikan kontribusi yang besar bagi kesejahteraan nelayan secara umum yang hidup di wilayah pesisir.

Oleh karena itu, para elit politik dan otoritas ekonomi moneter harus lebih memerhatikan pertanian, perkebunan, dan perikanan seperti halnya mengedepankan sektor-sektor manufakturing berbasis non-pertanian (local resources) atau dengan muatan bahan baku impor yang sangat besar, properti, dan jasa perbankan.
Yang lebih meprihatinkan lagi adalah bahwa di tengah-tengah munculnya semacam kesadaran nasional, bahwa jika kita ingin keluar dari krisis ini kita harus kembali ke agribisnis dan agroindustri (back to basic), ternyata masih ada beberapa ekonom yang menyangsikan kesiapan dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan menjadi sektor unggulan dan kesungguhan pemerintah (otoritas keuangan dan ekonomi) dalam mendukung agribisnis dan agroindustri terkesan masih sekadar retorika.
Sinyalemen ini mulai diubah dengan menetapkan kebijakan-kebijakan baru, seperti membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun di lain pihak melakukan kebijakan-kebijakan di sektor pertanian dan perkebunan yang kurang kondusif bagi kemajuan agribisnis dan agroindustri, seperti impor besar-besaran beras dan gula.
Pembangunan di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang diarahkan pada kemandirian bangsa harus memiliki agenda perencanaan yang baik. Di antaranya dengan menerapkan konsep agribisnis dan agroindustri yang holistik dan terpadu, perbaikan lingkungan agribisnis, peningkatan peran kelembagaan, dan pengembangan model pembangunan wilayah.

Penerapan konsep agribisnis dan agroindustri yang holistik dan terpadu, harus dilakukan dalam pembangunan di sektor pertanian secara komprehensif serta terpadu. Secara hakiki, pendekatan ini mengandung arti bahwa sistem produksi, pascapanen (penanganan dan pengolahan), dan pemasaran harus secara produktif dan efisien dapat menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi baik di pasar domestik maupun pasar internasional.

Produk-produk yang baik dalam arti kuantitas maupun kualitas hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pasar, sehingga permasalahan market glut (harga turun drastis pada saat terjadi panen raya atau pada saat sedang musim ikan) yang sampai saat ini masih merupakan dilema klasik sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan dapat dihindari.

Untuk dapat menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi, diperlukan penerapan iptek dan manajemen profesional melalui pendekatan QCD (Quality, Cost, and Delivery) pada keseluruhan mata rantai (sistem) agribisnis, dari mulai aspek produksi, pascapanen, transportasi dan distribusi, sampai ke pemasaran.

Mengingat bahwa kesinambungan pembangunan agribisnis dan agroindustri bergantung pada daya dukung dan kualitas lingkungan, maka pelaksanaannya harus sesuai dengan azas-azas kelestarian lingkungan. Dari sudut daya saing pasar internasional, produksi pertanian, perkebunan, dan perikanan yang dijalankan secara ramah lingkungan juga menjadi sangat penting, karena sekarang dan terlebih di masa mendatang (saat era perdagangan bebas berlaku penuh), setiap produk pertanian harus mengikuti persyaratan lingkungan, seperti ISO 14000, ecolabelling, HACCP, responsible fishery, dan lainnya.

Ada sebagian pengamat berpendapat, bahwa kejayaan agribisnis hanya bersifat sementara, yakni hanya sekira 4 sampai 5 tahun. Hal ini ada benarnya bila pertanian hanya dipersepsikan secara terbatas pada aspek budi daya atau produksi komoditas primer (on-farm activities), seperti produksi padi, coklat, CPO, kopi, karet mentah, udang dan ikan, ternak, dan kayu glondongan. Agar kejayaan agribisnis berkesinambungan, maka sistem pembangunan pertanian harus memerhatikan produktivitas, efisiensi, kualitas, dan nilai tambah.

Oleh karena itu, agribisnis tidak boleh berhenti pada upaya produksi komoditas primer tapi harus jauh ke hilir yang menghasilkan upaya nilai tambah yang berarti menumbuhkan sektor industri manufakturing produk hasil pertanian dan jasa. Hal ini bisa menjamin tingginya tingkat daya saing produk agribisnis dan agroindustri Indonesia sepanjang masa. Pengalaman empiris beberapa negara maju seperti AS, Kanada, Eropa Barat, Australia dan New Zaeland yang kuat dalam agribisnis dan agroindustri dari hulu sampai ke hilir menunjukkan cerita sukses pembangunan nasionalnya karena berbasis pada sumber daya alamnya, sehingga mereka selalu mengatakan from the farm to the kitchen, from the staple to the table. Dari negara maju ini muncul multinational corporation berbasis pertanian yang merajai dunia misalnya Monsanto, Pioneer hybrid, Kellogg, Unilever, General Foods, McDonald, Pizza Hut, dsb.

Langkah Pembangunan Kedepan ;

Apabila Indonesia dalam strategi pembangunan nasionalnya berbasis pada pertanian, perkebunan, dan perikanan yang komprehensif dengan membenahi tidak saja di sektor budi daya, tetapi di hulu untuk industri benih, pupuk, obat-obatan, lahan, air, mekanisasi, sampai ke hilir untuk industri manufakturing produk hasil pertanian, alat pengolahan, penyimpanan, transportasi, distribusi dan konsumsi/gizi. Hal ini akan mengakibatkan booming berkelanjutan. Untuk ini diperlukan strategi bersama dan upaya bersama dari semua sektor dan semua lapisan masyarakat serta pihak pemerintah.
Dalam perbaikan lingkungan agribisnis, lingkungan eksternal atau kebijakan ekonomi makro seyogyanya dibuat agar bersifat kondusif bagi kemajuan agribisnis dan agroindustri. Sistem perbankan yang ada sekarang semestinya diubah menjadi unit bank sistem. Suku bunga untuk usaha agribisnis dan agroindustri seharusnya mengikuti negara-negara lain, seperti Malaysia (9%), Thailand (7%), dan Australia (3%). Nilai tukar (terms of trade) dari produk-produk pertanian harus senantiasa diupayakan menguntungkan bagi para petani, nelayan, peternak, dan pengusaha kecil hutan.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam lingkungan agribisnis adalah redistribusi lahan melalui land reform secara adil dan proporsional atau konsolidasi lahan pemilikan yang kecil-kecil menjadi luas hamparan usaha yang memenuhi persyaratan economic of scale dari usaha agribisnis dan agroindustri. Pengembangan serta penerapan sistem hukum dan kelembagaan yang dapat menjamin produktivitas, efisiensi, dan kesinambungan usaha agribisnis dan agroindustri. Misalnya, penerapan undang-undang tata ruang yang mempertahankan lahan pertanian subur atau produktif dari konversi ke peruntukan pembangunan lainnya (real estate, kawasan industri, dan lainnya) seperti yang terjadi pada masa Orba. Oleh karena itu, perlu segera dan secara sistematis dilakukan upaya peningkatan penguasaan dan penerapan iptek pertanian serta peningkatan kualitas SDM pertanian.

Dalam rangka mewujudkan sistem pertanian dengan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing tinggi diperlukan organisasi kelembagaan yang mampu mengemban visi dan misi pembangunan, mampu mengantisipasi tantangan pembangunan, mampu memanfaatkan peluang, dan secara konsisten mampu mendinamisasikan seluruh pelaku pertanian, perkebunan, dan perikanan dalam melaksanakan strategi dan kebijaksanaan pembangunan, serta mampu menjadi dinamisator dan katalisator bagi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.

Untuk dapat mewujudkan visi dan misi tersebut diperlukan reformasi lembaga yang menangani pertanian. Reformasi yang dilakukan hendaknya berintikan rekonsiliasi lembaga pertanian pada skala nasional pada seluruh tingkat agar mampu menciptakan organisasi yang dapat mengakomodasikan pendekatan fungsi-fungsi pertanian, mandiri dan dinamis, saling terkait antara satu unit dengan unit lain, tidak menimbulkan unit yang menjadi unit superior, mudah untuk membentuk tim ad hoc untuk menyelesaikan masalah-masalah mendesak.

Selain itu, perlu bersikap profesional dan tidak mudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik, serta mampu menjadi wadah untuk melahirkan SDM yang profesional sesuai dengan bidang masing-masing.
Menyangkut aspek kelembagaan, perlu ada rekayasa sosial yang menyangkut peran koperasi. Dalam hal ini koperasi yang dapat mengorganisasi diri misalnya collective farming untuk rice estate. Untuk pertanian yang komersial, percepatan pembangunan koperasi agribisnis perlu dilaksanakan sebagai integrasi vertikal dan horisontal pengembangan agribisnis di tanah air.

Langkah lain yang dapat mendukung upaya peningkatan komersialisasi dan nilai tambah pertanian adalah menempatkan orang-orang yang concern pada pertanian di kedutaan-kedutaan besar Indonesia di luar negeri guna menembus lebih luas produk pertanian Indonesia ke pasar internasional.

Pengembangan Model Pembangunan Wilayah, kiranya perlu dilakukan dalam mengakselerasi pembangunan pertanian, perkebunan, dan perikanan melalui pendekatan agribisnis dan agroindustri seperti dicita-citakan di atas, melalui pendekatan agribisnis dan agroindustri secara komprehensif dan terpadu ini di setiap provinsi di tanah air. Penerapan model tersebut seperti Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PEMP) bagi masyarakat nelayan di wilayah pesisir oleh Departemen Kelautan dan Perikanan yang dilakukan di 120 Kabupaten yang menyebar di seluruh Indonesia (2003).

Strategi yang diajukan dalam pengembangan model pengembangan wilayah berbasis masyarakat adalah sebagai berikut. Identifikasi peluang pasar, penyediaan sarana pascapanen, penyediaan sarana produksi pertanian, pembinaan petani ke dalam kelompok agar tercipta efisiensi produksi, penyediaan bantuan keuangan untuk pembelian sarana produksi dan biaya hidup khususnya bagi buruh tani, dan penyediaan lembaga pemasaran yang tangguh dan terpercaya.

Keenam langkah tersebut hendaknya dilaksanakan secara penuh dengan melibatkan petani, nelayan, dan masyarakat pedesaan secara penuh pula. Jika hal tersebut dilaksanakan, maka akan tercapai pengembangan wilayah berbasis masyarakat secara berkesinambungan. Semoga segala cita-cita dan harapan kita semua dalam memajukan bangsa dan menuju arah kemandirian dapat tercapai.

PENDEKATAN MASALAH PEMBUATAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG N0.10 TAHUN 2003 Oleh : Ricky Idaman SH.MH Alumni Program Pasca Sarjana Unand – Padang Sumbar 2007

Pengantar

Kinerja di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan (PUU) dalam 10 tahun terakhir ini telah memperlihatkan peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini tidak terlepas dari proses penyusunan PUU dengan mekanisme yang makin tertib, terarah, dan terukur, meskipun masih tetap perlu diupayakan penyusunan PUU dengan proses yang lebih cepat dengan tidak mengurangi kualitas PUU yang dihasilkan. Percepatan penyelesaian PUU utamanya perlu didorong terhadap program pembentukan PUU yang penyelesaiannya ditentukan dalam waktu tertentu atau diperlukan segera untuk merealisasikan program-program strategis pembangunan.
Penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah, telah menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Dalam kaitan ini peran dan dukungan daerah dalam rangka pelaksanaan PUU sangat strategis, khususnya dalam membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan daerah lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perda sebagai jenis PUU nasional memiliki landasan konstitusional dan landasan yuridis dengan diaturnya kedudukan Perda dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6), UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah termasuk perundang-undangan tentang daerah otonomi khusus dan daerah istimewa sebagai lex specialis dari UU No.32/2004. Selain itu terkait dengan pelaksanaan wewenang dan tugas DPRD dalam membentuk Perda adalah UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD. Penting pula untuk diperhatikan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi sebagai pengganti UU No.18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.34 Tahun 2004, dalam rangka pengendalian Perda tentang Pajak dan Retribusi dan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam rangka keterpaduan RTRW nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan Perda dan peraturan daerah lainnya, dan Perda diharapkan dapat mendukung secara sinergis program-program Pemerintah di daerah.
Perda sebagaimana PUU lainnya memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum PUU harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana dalam PUU yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.
Pengharmonisasian PUU memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan daerah adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan PUU lainnya.

II. Aspek Pengaturan Peraturan daerah
a. Kedudukan dan Landasan Hukum
Sesuai asas desentralisasi daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang telah diatur lebih lanjut dengan PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga telah menetapkan PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah memerlukan perangkat peraturan perundang‐undangan.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan ”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Ketentuan Konstitusi tersebut dipertegas dalam UU No.10/2004 yang menyatakan jenis PUU nasional dalam hierarki paling bawah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan Ketentuan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), PUU tunduk pada asas hierarki yang diartikan suatu PUU yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi tingkatannya atau derajatnya. Sesuai asas hierarki dimaksud PUU merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki ketergantungan, keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu Perda dilarang bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi. Perda harus didasarkan pada Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (Pasal 2 UU No.10/2004), UUD 1945 yang merupakan hukum dasar dalam PUU (Pasal 4 ayat (1) UU No.10/2004, asas‐asas pembentukan PUU sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 137 UU No. 32/2004.
Kedudukan Perda juga dapat ditinjau dari aspek kewenangan membentuk Perda. Pasal 1 angka 2 UU No.10/2004 menyatakan bahwa: “Peraturan Perundang-ndangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan DPRD. Hal ini sesuai UU No.32/2004 Pasal 25 huruf c bahwa ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD” dan Pasal 42 ayat (1) huruf a bahwa”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama”, dan Pasal 136 ayat (1) bahwa”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.
Memperhatikan ketentuan mengenai Perda dimaksud, dapat disimpulkan bahwa Perda mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai instrumen kebijakan di daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah namun Perda tersebut pada dasarnya merupakan peraturan pelaksanaan dari PUU yang lebih tinggi. Selain itu Perda dapat berfungsi sebagai istrumen kebijakan untuk penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam rangka harmonisasi, asas hierarki dilaksanakan melalui pembatalan perda oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Asas hierarki juga menimbulkan lahirnya hak untuk menguji Perda tersebut baik secara formal (formele toetsingsrecht) maupun material (materiele toetsingsrecht). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah dibuat melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam PUU; sedangkan hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu produk hukum isinya sesuai dengan PUU yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
b. Materi Muatan Perda
Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam UU No.10/2004 dan UU No.32/2004. Pasal 12 UU No.10/2004 menyatakan:“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 138 UU No.32/2004, menentukan materi Perda harus memperhatikan asas materi muatan PUU antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, dan yang terpenting ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) UU No.10/2004 jo Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 bahwa materi Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan /atau peraturan PUU yang lebih tinggi. Dalam penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan kepentingan umum” adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara penyusunan Perda yakni mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang APBD (Pasal 185 s.d Pasal 191 UU No.32/2004), Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah (Pasal 189 UU No.32/2004). Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda dengan PUU yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian Perda dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.
Raperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RTRW sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota.
Ketentuan mengenai tata cara evaluasi Raperda tentang pajak dan retribusi diatur dalam No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi (Pasal 157 s.d Pasal 158), sedangkan pengaturan mengenai tata cara evaluasi Raperda RTRW terdapat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Raperda tentang pajak dan retribusi yang telah disetujui kepala daerah dengan DPRD sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Raperda Provinsi untuk dievaluasi untuk diuji kesesuaiannya dengan UU No.28/2009, kepentingan umum, dan/atau PUU lain yang lebih tinggi. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan Raperda dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur/ bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Mekanisme tersebut berlaku mutatis mutandis bagi Raperda kabupaten/kota tentang pajak restribusi dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
Sesuai ketentuan Pasal 18 UU No.26/2007 penetapan Raperda provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri PU; dan penetapan Raperda kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri PU setelah mendapatkan rekomendasi gubernur. Pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara persetujuan substansi dimaksud diatur dalam PP No.15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Sesuai PP ini, persetujuan bersama Raperda provinsi tentang RTRW antara gubernur dengan DPRD provinsi yang didasarkan pada persetujuan substansi dari Menteri PU, dan kewajiban untuk menyampaikan Raperda tersebut kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Mekanisme ini berlaku mutatis mutandis bagi Raperda RTRW kabupaten/kota dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh gubernur.
Ketentuan mengenai pembatalan Perda diatur dalam Pasal 145 UU No.32/2004. Sesuai ketentuan Pasal ini Perda yang telah ditetapkan bersama Pemda dan DPRD wajib disampaikan kepada Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri paling lama 7 hari setelah ditetapkan. Pemerintah harus telah memberikan keputusan atas Perda tersebut paling lama 60 hari sejak Perda diterima. Dalam hal Perda dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Selanjutnya paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan bersama DPRD mencabut Perda dimaksud. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Khusus mengenai pembatalan Perda tentang Pajak dan Restribusi berdasar ketentuan dalam UU No.28 Tahun 2009, Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota dibatalkan apabila bertentangan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atas rekomendasi dari Menteri Keuangan kepada Presiden yang disampaikan melalui Menteri Dalam Negeri. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Perda oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya sesuai Pasal 159 UU No.28 Tahun 2009 daerah yang tidak menyampaikan Perda tentang Pajak dan Retribusi kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.

c. Urgensi Harmonisasi Perda dengan PUU Lain
Harmonisasi PUU adalah proses yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu PUU dengan PUU lainnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki PUU sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua PUU termasuk Perda baik secara vertikal maupun horisontal.
Dalam UU No.10 Tahun 2004 terdapat rambu-rambu yang mengarahkan pada pentingnya harmonisasi PUU untuk semua jenis PUU termasuk Perda. Pasal 5 menentukan PUU dinilai baik apabila telah memenuhi asas peraturan perundang-undangan yang baik antara lain kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan kejelasan rumusan; Pasal 7 tentang jenis dan hierarki PUU; Pasal 6 tentang asas-asas PUU, Pasal 12 tentang materi muatan Perda dan Pasal 15 tentang Prolegda.
Harmonisasi Raperda dengan PUU perlu didukung oleh aturan yang jelas dan tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa dintergrasikan sebagai syarat formal penyusunan Perda seperti halnya proses pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi RUU, RPP, Rperpres termasuk Rinpres yang dilaksanakan sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan Peraturan Presiden No.61/2005 tentang Prolegnas.
Dalam Peraturan Presiden No.68/2005 antara lain diatur mengenai pembentukan Panitia Antardepartemen, pengajuan surat permintaan keanggotaan Panitia Antardepartemen kepada Menteri dan menteri /pimpinan lembaga terkait; dan penegasan keikutsertaan wakil dari Kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dalam setiap Panitia Antardepartemen dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian Rancangan Undang-Undang dan teknik perancangan perundang-undangan. Dalam Perpres tersebut juga diatur mengenai teknik-teknik pelaksanaan pengharmonisasian termasuk mekanisme penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan. Dalam Perpres No. 61 Tahun 2005 diatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dalam Pasal 14 s.d 17, yang pada intinya menentukan bahwa RUU sebelum dimintakan persetujuan Presiden sebagai Prolegnas terlebih dahulu dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU.
Model pengharmonisasian PUU ditingkat Pusat dapat diadaptasi dalam proses penyusunan Perda dan dimungkinkan untuk dibuatkan payung hukumnya berdasar pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU No.10/2004 bahwa tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari gubernur, bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Perpres ini semestinya segera dibentuk karena ada kemungkinan daerah mengabaikan harmonisasi Raperda dengan PPU lainnya dengan alasan tidak ada dasar hukum dan pedoman teknis yang cukup kuat selama Perpres tersebut belum ditetapkan. Pentingnya pengaturan pengharmonisasian bagi Raperda diatur dalam Perpres tersebut agar selaras dengan pengaturan di DPRD dalam PP No.16 Tahun 2010 dimana Pasal 53 PP tersebut mengatur bahwa Badan Legislasi Daerah bertugas melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD. Ketentuan Pasal 53 PP tersebut konkordan dengan ketentuan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 dimana proses tersebut melekat dalam tugas dari Badan Legislasi.
Proses harmonisasi memerlukan ketelitian, kecermatan, dan keakuratan dalam mengidentifikasikan PUU yang terkait, analisis norma-norma yang dinilai bersesuaian atau bertentangan, serta ketepatan dalam menentukan pilihan-pilihan politik hukum dalam hal ditemukan ketidakcocokan konsepsi rancangan dengan ketentuan PUU lain. Dalam proses tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip PUU yang harus dipegang teguh oleh para penyusun misalnya bahwa RPP dibuat untuk melaksanakan UU maka RPP tidak dapat mengatur sesuatu hal yang melebihi amanat UU tersebut.
Dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU, proses harmonisasi Perda dengan PUU lainnya dan dengan perda lainnya perlu dintegrasikan sejak pembahasan Prolegda dan penyusunan Naskah Akademis. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No.10 Tahun 2004 bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Prolegda. Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Perda yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Pasal 18 PP No.16/2010 menentukan Raperda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, dengan catatan Naskah Akademik tidak bersifat wajib bagi Raperda tentang APBD atau Raperda yang mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya.

III. PERMASALAHAN DALAM PEMBENTUKAN PERDA
Pembentukan peraturan daerah mengalami peningkatan pesat sejak desentralisasi diberlakukan dengan UU No.22 Tahun 1999 dan kemudian digantikan dengan UU No.32 Tahun 2004. Namun diperoleh gambaran umum perda-perda yang telah dibentuk dipertanyakan dari segi kualitas. Pembatalan perda menunjukkan gejala bahwa proses harmonisasi peraturan pusat dengan peraturan daerah yang tidak berjalan dengan baik. Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU Nomor 32/2004 yang menegaskan bahwa peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Hingga kini berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri telah tercatat sebanyak 1983 yang dibatalkan dan masih terdapat ribuan Perda yang direkomendasikan untuk dievaluasi dan/atau dibatalkan. Perda yang dibatalkan pada umumnya Perda tentang pajak dan retribusi daerah. Sampai dengan bulan Juli 2009 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah dibatalkan sudah mencapai 1152 Perda. Sebelum berlakunya UU No.32/2004 sudah terdapat sekitar 8000 perda tentang pajak dan retribusi daerah yang dibuat dan lebih dari 3000 perda tersebut terindikasi bermasalah. Perda-perda yang mengatur pajak dan restribusi dan bermacam-macam pungutan lainnya dibatalkan karena pada umumnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dinilai telah yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan menghambat iklim investasi.
Kementerian Keuangan menginformasikan dari hasil evaluasi terhadap Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sejak 2001 hingga 14 Agustus 2009 menunjukkan, dari total 9.714 perda, ada 3.455 perda (36 persen) yang direkomendasikan dibatalkan atau direvisi, dan dari sisi jenis usaha, perda bermasalah paling banyak diterbitkan di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pertanian, budaya dan pariwisata, serta kehutanan. Hasilnya, dari 2.566 Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat 1.727 Raperda (67 persen) yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi. Raperda bermasalah ini masih di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata, serta kesehatan. Kementerian Keuangan juga mendata sampai dengan 31 Maret 2009, Perda bermasalah paling banyak terjadi di sektor transportasi (447 Perda), disusul industri dan perdagangan (387 Perda), pertanian (344 Perda) dan kehutanan (299 Perda).
Masih terkait dengan pajak dan retribusi, Kementerian Negara Koperasi dan UKM baru menginformasikan saat ini terdapat 26 dari 92 peraturan daerah yang bertentangan dengan pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) dan terkait dengan pajak dan retribusi daerah telah dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan masih terdapat 340 perda yang bertentangan dengan pemberdayaan KUMKM sesuai UU No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dari 340 Perda tersebut sejumlah 234 peraturan daerah telah diusulkan pembatalannya kepada Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 63 di antaranya telah disetujui pembatalannya, dan 171 Perda lainnya masih dalam proses pertimbangan di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri baru-baru ini juga telah menyampaikan sebanyak 706 Perda bermasalah kepada BPK untuk diawasi.
Perda dibatalkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dikategorikan karena alasan teknis yuridis seperti dasar hukum membentuk Perda tidak tepat, alasan yang bersifat substansial (materi muatan bertentangan dengan PUU) atau alasan yang dipandang prinsipil misalnya mengandung ketentuan yang diskriminatif atau melanggar HAM.
Beragamnya pertimbangan pembatalan Perda hingga kini tampaknya belum ada data konkrit mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya disharmonisasi Perda dengan PUU. Namun demikian jika dicermati kemungkinan besar dalam setiap pembentukan perda bermasalah terdapat satu atau lebih persoalan sebagai berikut:
1. Daerah menganggap dengan tidak adanya kerangka acuan yang jelas dalam membentuk Perda maka pembentukan Perda mengabaikan ketentuan-ketentuan prinsip mengenai asas dan materi muatan Pembentukan Perda sebagaimana ditetapkan UU No.10/2004 dan UU No.32 Tahun 20004.
2. Daerah memahami prinsip-prinsip pengaturan penyusunan Perda sesuai UU No.10/2004 dan UU No.32/2004 namun kurang kapasitas pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan teknik-teknik perumusan norma yang dinilai tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Kurangnya pemahaman dikalangan penyusun perda mengenai teknik penyusunan peraturan daerah yang antara lain disebabkan oleh kurangnya pengalaman penyusun perda mengenai ilmu pengetahuan perundang-undangan dan teknik penyusunan perda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Langkah-langkah pembinaan yang dilakukan oleh instansi Pusat kepada aparatur pemerintah daerah dalam penyusunan Perda kemungkinan belum optimal dan belum merata.
5. Belum adanya kerangka acuan yang jelas bagi daerah mengenai tata laksana harmonisasi Raperda sebagai salah satu instrumen penting dalam rangka menjaga harmonisasi Perda dengan PUU. Perpres tentang Tata Cara Mempersiapkan Perda hingga kini belum ditetapkan.
6. Bentuk-bentuk hubungan komunikasi, konsultasi, klarifikasi Raperda antara instansi Pemerintah dengan aparat terkait di daerah yang selama ini diterapkan kemungkinan kurang efektif.
7. Peran Gubernur dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan kabupatan/kota kemungkinan belum optimal.
Disamping hal-hal tersebut di atas, perlu cermati berbagai persoalan yang kemungkinan bersumber dari sisi Pemerintah yang mempersulit Pemda dalam menyusun Perda, antara lain:
1. PUU yang menjadi landasan atau pedoman Perda dalam menyusun Perda mengalami perubahan atau pergantian yang cepat dan daerah kurang siap menyikapi perubahan tersebut.
2. PUU menjadi landasan atau pedoman bagi daerah dalam menyusunan Perda terlambat diterbitkan.
3. Secara teknis, lingkup PUU yang harus diharmonisasi oleh daerah banyak dan beragam mulai dari UU sampai dengan Peraturan Menteri, sehingga proses harmonisasi Raperda membutuhkan waktu dan energi yang lebih banyak.
4. Inkonsistensi peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat dapat berdampak terjadinya kekeliruan daerah dalam menentukan ketentuan acuan hukum. Hal ini bisa juga terjadi dalam hal terdapat peraturan pelaksanaan yang dipandang tidak sesuai dengan dengan UU pokoknya.
5. Kurangnya sosialiasi peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan persepsi dan pemahaman antara aparatur daerah dengan instansi Pemerintah.
6. Ketidaksiapan Pemerintah dalam menyediakan ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan suatu urusan pemerintahan tertentu dapat mendorong daerah mengambil inisiatif-inisitaf sendiri dengan membuat peraturan atau kebijakan yang dapat bertentangan dengan PP.
7. Pendelegasian pengaturan suatu hal tertentu dalam PUU kepada Perda yang tidak jelas terutama lingkup materi muatan yang diperintahkan untuk diatur Perda, dapat mempersulit daerah dalam menyusun Perda. Pendelegasian pengaturan kepada peraturan daerah yang tidak spesifik menyebut tingkatan Perda dapat berpotensi menimbulkan perselisihan kewenangan dan tumpang tindih pengaturan.
8. Koordinasi antara instansi Pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peraturan daerah kemungkinan belum sinergis dan terpadu.
Sebagai saran dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU diharapkan Kementerian terkait yang diberi tugas menangani peraturan daerah agar segara mendesign program dan kegiatan bertahap dan terencana mulai dari kegiatan identifikasi permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah, penentuan program penanganan, evaluasi dan monitoring perkembangan mengenai intensitas dan bobot penerapan di semua daerah.

Rabu, 14 September 2011

Perempuan dalam Seni Pertunjukan di Minangkabau Sebagai Dilema Kultural oleh : Minangkabau Culture Of Study Law

ABSTRAK:

Seni Pertunjukan Minangkabau yang dilakoni kaum perempuan, baik seni pertunjukan yang tradisional maupun modern (kontemporer), dapat dikatakan sebagai dilema kebudayaan Minangkabau yang bersifat matrilinial. Sebagai masyarakat yang menganut sistem matrilinial, kaum perempuan memiliki posisi yang khusus, terutama dalam menjaga “moral kebudayaan Minangkabau”. Mereka diibaratkan sebagai “pusat kehidupan kebudayaan Minangkabau” seperti diungkapkan dalam pepatah “pusek jalo pumpunan ikan”.

Dalam kehidupan budaya tradisi Minangkabau, kaum perempuan memiliki keterbatasan untuk mengekspresikan diri dalam kegiatan seni pertunjukan yang bersifat umum (publik). Apa lagi dikaitkan dengan kegiatan seni pertunjukan yang bersifat profesional, kaum perempuan seperti ditabukan. Mereka lebih banyak tampil di dalam kegiatan budaya yang merupakan bagian dari upacara adat Minangkabau.

Namun dunia berubah, dan sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau. Dalam tiga dekade terakhir, cukup banyak kaum perempuan Minangkabau yang tampil dalam kegiatan seni pertunjukan. Dalam kegiatan seni pertunjukan tradisi, perkembangan tersebut dapat dilihat dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang. Sedangkan dalam seni pertunjukan modern (kontemporer), juga cukup banyak nama yang tampil, dan menjadi suatu fenomena yang menarik dalam kebudayaan Minangkabau.

Perkembangan kaum perempuan dalam pertunjukan ini, menjadi suatu dilema kebudayaan, jika dikaitkan dengan tradisi budaya (adat) Minangkabau yang bersifat matrilinial tersebut. Ada banyak kaidah dalam kehidupan adat Minangkabau yang “mentabukan” perempuan tampil dalam kegiatan seni pertunjukan. Masalah inilah yang akan dikemukakan dalam makalah ini, yang dapat dianggap sebagai tanda bahwa kebudayaan Minangkabau telah berubah.

Sabtu, 10 September 2011

KEMBALI PADA DEMOKRASI TERPIMPIN OLEH : RICKYIDAMAN SH,MH

I. A B S T R A K S I
Suatu phenomena PEMBANGUNAN POLITIK adalah kesadaran terhadap pola pemikiran yang berkembang sebagai kotribusi idiologi dengan adanya pergerakan politik global yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita berbangsa bernegara. Dalam pembangunan ini dibutuhkan kekuasaan yang tegas Lukas dan beribawa guna mewujutkan cita-cita berdirinya Negara.
Konsep pembangunan politik mengarah kepada pembangunan nasional dibawah system kekuasaan yang didasarkan kepada Panca Sila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar hidup berkehidupan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun semenjak Reformasi di gelar menghasilkan bentuk baru yakni teokrasi yang menumpukan demokrasi sebagai dasar / landasan ideal yang isinya adalah kekuasaan tunggal dalam melakukan kepemimpinan dikawal oeh kelompok-kelompok yang dibangun sebagai benteng-benteng pertahanan dalam system birokrasi.
II. PENDEKATAN MASALAH
Konsep bernegara menurut paham Shangyang ” Negara Kuat Rakyat Harus dilemahkan ” bila rakyat lebih kuat dari negara maka negara tak pernah mampu menjalankan kepemerintahannya dengan baik.
Pemikiran Shangyang mengarah kepada Diktator adalah inovasi baru sebuah pemikiran kedepan dengan kombinasi Demokrasi yang pernah di kembangkan Bapak Pembangunan Soeharto selama 32 tahun dengan keberhasilan penggalangan jiwa nasionalisme yang terkontrol terkendali terukur dan terarah berdasarkan nilai-nilai luhur Panca Sila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar idiologi bangsa melalui Penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Paca Sila (Ekaprasetya Panca Karsa) kita kenal dengan P.4.
Demokrasi itu apa sebenarnya…?
Sebuah kontemplasi dalam pemahaman Demokrasi secara umum adalah “ Kekuasaan Ditangan Rakyat “ hal ini juga akan memunculkan pertanya yakni “ apakah kekuasaan ditangan rakyat itu terlaksana dengan diwakili oleh partai-partai “ sebuah penomena demokrasi yang bisa berubah menjadi teokrasi jadi dimana dan bagaimana demokrasi itu sebenarnya…?
Menurut para ahli agak lebih lama “ W.Fredman “ banyak merampung pendapat para ahli dari masa kemasa dalam bukunya “ Legal Theory “ telah memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep hidup bernegara yang digagas oleh beerapa tokoh seperti Han Kalsen murid dari aristoleles intinya adalah “ aturan peraturan yang beraturan dan memiliki kepastian berupa hokum positif “ kalau ini tidak ada maka akan membuat nilai terbalik dari tujuan utama demokrasi yakni “ homo homonilipus “ manusia akan memangsa manusia itu sendiri, jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar hidup manusia dalam berdemokrasi.
Pada Masa Reformasi sekarang ini kita melihat adanya bentuk pola baru dimana rakyat lebih berkuasa daripada pemerintah, hasilnya adalah pemerintah tak mampu melaksanakan kepeminannya secara maksimal sebagaimana yang kita harapkan bersama. Maka yang berkembang adalah teori kepentingan dan pertandingan kemenangan kekuasaan satu ama lainnya saling menumbangkan danmeruntuhkan sehingga stabilitas politikkeamanan tidak terjamin, hasil akhirnya adalah wibawa negara dimata internasional taka sama sekali.
Untuk meningkatkan kemampuan manusia di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Dalam hal ini Soerjono Soekanto, menunjukkan beberapa ciri kuat pada manusia moderen:
a. Bersikap terbuka terhadap pangalaman-pengalaman baru maupun penemuan-penemuan baru;
b. Siap untuk menerima perubahan-perubahan setelah ia menilai kekurangan-kekurangan yang dihadapinya pada saat itu;
c. Kepekaan terhadap masalah-masalah yang terjadi disekitarnya;
d. Mempunyai informasi yang lengkap mengenai pendirinya;
e. Berorientasi ke masa kini dan masa mendatang;
f. Potensi-potensi yang ada pada dirinya dan yakin dikembangkan;
g. Manusia yang peka perencanaan;
h. Tidak pasrah pada nasib
i. Percaya pada keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia;
j. Manusia moderen manyadari dan menghormati hak-hak, kewajiban-kewajiban serta kehormatan fihak lain.
Keterbatasan kemampuan dalam menempatkan diri dalam peran pihak lain (teposlira); tingkat aspirasi yang rendah; kegairahan yang kurang untuk menguasai masa depan; ketidak mampuan untuk menunda kepuasan suatu kebutuhan; tidak mempunyai daya kreasi dan inovasi.
1. Beberapa ciri manusia inovator sebagai pembawa pembaharuan

Dalam mengatasi berbagai masalah dalam proses pembaharuan seperti dikemukakan Soerjono Soekanto, salah atu pemecahannya dapat dikembalaiakn pada buah fikir (teori) dari Niehoff. Niehoff memberikan ciri-ciri yang diperlukan oleh seorang inovator sebagai pembawa pembaharuan.
Didasarkan atas rencana yang disiapkan, dengan tujuan membawakan suatu idea/konsepsi atau teknik/cara baru kepada golongan ”sasaran”. Perilaku inovator tersebut dinyatakan berhasil akalu idea atau cara baru itu akhirnya diterima atau ”diintegrasikan” terhadap golongan sasaran, biasanya didahului oleh proses akulturasi.
Syarat-syarat atau ciri-ciri pada pihak ”pelaksana” pembaharuan itu menurut Niehoff ialah:
a. Berkomunikasi secara mantap, baik secara formal lewat pertemuan formal dalam grup, maupun secara personal 9berhadapan muka).
b. Melakukan peran (image/gambaran yang diciptakan) berdasarkan kemampuannya dalam bahasa, pengertian budaya, kesanggupan teknis dan keanggautaan dalam masyarakat sedara resmi.
2. Kebutuhan untuk memahami dan sekaligus memberikan preskripsi bagi arah pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga setelah berakhirnya Perang Dunia II telah mendorong munculnya ‘proyek besar’ yang bernama studi pembangunan. Dalam kerangka ini muncul berbagai teori pembangunan, dengan berbagai variasinya, termasuk variasi ideologis yang mendasari teori-teori tersebut. Secara umum, terdapat dua kubu besar teori-teori pembangunan yakni teori-teori modernisasi dan teori-teori ketergantungan. Sementara teori-teori modernisasi menekankan pada konvergensi proses ekonomi, politik dan sosial ke arah modernitas, teori-teori ketergantungan — sebagai antitesis teori modernisasi — menekankan pada aspek keterbelakangan sebagai produk dari pola hubungan ketergantungan. Kedua kubu tersebut mendominasi 'proyek besar' pembangunan hingga akhir tahun 1980-an, ketika studi pembangunan mencapai ‘jalan buntu’. Kedua kubu teoretis tersebut dianggap gagal. Di satu sisi, realitas yang ada di negara-negara dunia ketiga sebagai obyek pembangunan tetap ditandai oleh berbagai indikator keterbelakangan, di sisi lain muncul fenomena negara-negara industri baru sebagai kisah sukses.
Kebuntuan dalam studi pembangunan ini mendorong perkembangan kritik terhadap teori-teori pembangunan yang dominan. Kritik terhadap teori-teori pembangunan ini bukan hanya menekankan pada kritik terhadap strategi-strategi pembangunanyang dominan, tetapi juga terhadap studi pembangunan dan bahkan konsep pembangunan itu sendiri. Dalam artian yang terakhir, teori pembangunan telah bergeser dari teori tentang kebijakan ke arah wacana tentang pembangunan (Apter, 1998).


3. Penilaian Politik Nasional dibawah Kepemimpinan SBY

Partai Demokrat sebetulnya tidak menginginkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlibat penuh mengurus masalah internal partai. Untuk itu, kader Demokrat minta maaf dan dengan berani mengatakan kami bersalah. “Kami mempersalahkan diri sendiri kenapa SBY terlalu dalam mengurus masalah internal partai,” ujar Ketua DPP Demokrat Max Sopacua di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (18/7).
Menurut saya , sebetulnya persoalan internal partai diselesaikan di DPP. Tapi selama ini, masalah Demokrat pun diurus SBY sehingga banyak presepsi mengatakan SBY meninggalkan tugas kenegaraan. SBY dan BDY adalah Kepala dan wakil pemerintahan sekalipun pemimpin Negara seharusnya dilepaskan dari jabatan poltik dalam lingkungan partai sehingga bebasdari tekanan politik partai yang berkuasa sebut saja Demokrat.
Dari penjelasan tersebut diatas tampak ada indikasi yang tidak benar dari konsep demokrasi yang benar dimana tidak adanya pembilhan dan pembedaan antara kekuasaan Legislatif dan Eksekutif dalam kepemimpinan kenegaraan yang seharusnya ada pemisahan yang jelas lebih jauh mempengaruhi fungsi dan tugas yudhikatif yang mulai tampakkurang professional dan memihak pada kekuatan wibawa pemerintahahn rakyat tetap dalam posisi lemah.
Apa yang terjadi semenjak kepemimpinan SBY…? (1) Pecahnya persatuan dan kesatuan Bangsa (2) banyaknya berdiri partai yang membingunkan rakyat (3) rendahnya kesadaran hidup berbangsa dan bernegara (4) rusaknya system pendidikan dan pembelajaran (5) kaburnya system perpolitikan nasional (6) meningkatnya korupsi dari kader-kader democrat yang mendapat kedudukan dalam sistem ketatanegaraan.(7) kemiskinan semakin naik prosentase nya, pejabat Negara semakin kaya.(8) manjemen politik nasional tidak terarah dan tidak berukuran tidak berwawasan jiwa nasionalisme serta keluar dari konsep kepatrotisme.

4. Gambaran Umum Indonesia Kedepan
Kita ingat dengan kejadian perubahan kepemimpinan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah jatuhnya kekuasaan kepemimpinan Soeharto kondisi nasional Indonesia sangat menakutkan dimana terjadinya konfrontasi local dimana mengubah konsep dasar Negara Kesatuan Reppublik Indonesia secara perlahan tapi pasti akan membentuk Negara-negara bagian seperti yang pernah terjadi semasa kepemimpinan Soekarno itupun dibawah prakarsa USA melalui keterlibatan agen Rahasia Amerika (CIA) kemudian tahun 1966 mulai berpikir untuk kembali kepada UUD 1945 dikenal Dikrit 5 Juli. Kemudian diprakarsai oleh tokoh akademisi Indonesia “ Amin Rais “ dengan menggunakan pemikiran dari “ Rias Rasyid “ yang cikal bakal mempersiapkan Indonesia dalam bentuk demokrasi yang tepat karena beliau berpikir harus ada akselerasi dan penyesuaian pola dan konsep yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan kebudayaan Indonesia tanpa harus mengorbankan keadaan Negara yang tentram dimasa kekuasaan Soeharto dengan menggeser secara perlahan-lahan hingga bis menemukan komposisi yang tepat dan momen pas untuk di betuk pola baru yang tepat untuk Indonesia.
Dengan kondisi yang sedemikian rupa apakh memungkin kita kembali kepada demokrasi terpimpin seperti yang dikembangkan oleh Bapak Pembangunan Soeharto…? Kepemimpinan bangsa yang dilandaskan oleh kekuatan partai melalui pengkaderan-pengkaderan dengan merekrut orang terkenal atau ternama, belum tentu memenuhi standar kemampuan akademisi dalam pengelolaan kenegaraan. Kita dapat membayangkan bagimana kita mampu memipin kepemerintahan sementara ilmu kepemerintahan tersebut tidak kita miliki, sebuah masalah dalam penetapan pengambilan keputusan kedepan akan membahayakan bangsa dan Negara.
Dengan demikian ada korelasi pendapat diatas dengan pendapat Yusuf kala tanggal 25 Agustus 2011 di media Metro TV mantan Wakil presiden Republik Indonesia tahun 2004-2009 yang lalu pernah mengusulkan adanya pandangan baru ketentuan yang mengarah kepada keseatan bagi akademisi dan praktisi kepemerintahahn untuk tampil di pentas politik dengn ketentuan tidak diperhentikan sebagai PNS//PNSD/Polri/TNI hanya beri status cuti diluar tangungan Negara dengan tujuan untuk profesionalisme penelenggaraan Negara yang baik sebagaimana yang diharapkan rakyat Indonesia, namun di tolok mentah-mentah oleh lembaga eksekutif dan legislative dianggap kurang demokratis (Ricky)

Senin, 11 Juli 2011

HUKUM ALAM SANKSINYA LEBIH NYATA BUAT Drs.Djufri ATAS PERBUATAN NYA SENDIRI..

Djufri Terancam Hukuman 15 Tahun Penjara

Senin 11 Juli 2011, 00:53:44



Nasionalnew.com- BUKITTINGGI- Drs.H. Djufri Anggota DPR RI Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat (PD) datang ke Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Bukittinggi, Sumatera Barat

(Sumbar) di Belakang Balok Senin (11/7) untuk proses pelimpahan perkara tahanan tahap dua.

Mantan Walikota Bukittinggi itu tiba sekitar pukul 16:30 WIB bersama Drs. Khairul yang juga mantan Sekda Kota Bukittinggi dengan mobil Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar dikawal dua orang anggota Brimob.

Sebelumnya, sejak Rabu (8/6) lalu, keduanya sudah ditahan pihak Kejati karena tersangkut kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk kantor DPRD kota setempat pada 2007.

"Mereka berdua ke sini dalam proses pelimpahan perkara tahap dua sekaligus penyerahan barang bukti dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bukittinggi kepada Tim Tipikor Kejati Sumbar," ucap Maskar, SH Kepala Kejari Bukittinggi didampingi Kasie Pidum Irsad, SH kepada wartawan usai proses pelimpahan perkara kedua tahanan Kejati tersebut.

Sementara Kasie Penuntutan Aspidsus Kejati Sumbar Idial SH MH mengatakan, tersangka telah melanggar Undang-undang nomor 31 tahun 2001 tentang korupsi.

"Tersangka melanggar Undang-undang nomor 31 tahun 2001 pasal 2 ayat 1 dan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,2 miliar," jelas Idial sambil menambahkan keduanya bisa terancam hukuman maksimal 15 tahun dan minimal 4 tahun penjara. (nn.c)

FOTO : Djufri hendak kembali ke LP Muaro Padang keluar dari Kantor Kejari Bukittinggi (dok: www.nasionalnews.com)

Sabtu, 02 Juli 2011

Pembentukan Panja Mafia Pemilu DPR RI

Pembentukan Panja Mafia Pemilu DPR RI

Abstrak

Komisi II DPR RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu yang beranggotakan 25 orang. Terbentuknya Panja ini berawal dari munculnya kasus pemalsuan dokumen Mahkamah Konstitusi (MK). Pemalsuan tersebut terkait dengan sengketa kursi DPR di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Implikasi pemalsuan tersebut, menyebabkan perbedaan penetapan kursi antara KPU dan MK.

Dalam putusannya MK menetapkan Mestariyani Habie dari Partai Gerindra sebagai pemenang. Namun, KPU dalam rapat pleno yang dipimpin Andi Nurpati telah menetapkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura yang memperoleh kursi di DPR.

Hasil kerja Panja diharapkan bisa memperbaiki sistem pemilu, juga memberikan masukan untuk penyempurnaan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dengan demikian diharapkan bisa terbentuk badan penyelenggara pemilu yang independen, efektif, efisien, profesional, bertindak cepat dan transparan.

Pengantar

Pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR pada Selasa,14 Juni 2011 lalu sejumlah anggota Komisi II DPR RI dari berbagai fraksi mendorong pembentukan Panja untuk mengungkap pemalsuan dokumen Mahkamah Konstitusi (MK). Panja DPR Pemalsuan Dokumen MK akhirnya resmi disepakati dengan nama Panja Mafia Pemilu.

Kesepakatan nama Panja ini dilakukan dalam rapat tertutup. Nama Panja Mafia Pemilu disepakati karena kasus yang hendak diungkap dinilai memang bisa mendekati pada kategori praktek mafia. Apabila terbukti, Panja kedepan akan mengusut terjadinya pemalsuan dokumen MK terkait penetapan perolehan kursi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009.

Panja Mafia Pemilu beranggotakan 25 orang. Fraksi Partai Demokrat yang semula tidak setuju karena lebih memilih jalur hukum, akhirnya menyetujui dengan catatan FPD meminta kasus dugaan kursi bermasalah di DPR tidak dipolitisasi.

Kasus Pemalsuan Dokumen Mahkamah Konstitusi

Kasus pemalsuan dokumen MK mencuat setelah Ketua MK mengungkap soal laporan pemalsuan keputusan MK ke Mabes Polri pada Februari 2010. Ketua MK Mahfud MD mendukung pembentukan Panja DPR untuk menuntaskan kasus pemalsuan surat MK dengan alasan proses hukum di kepolisian tidak jelas tindaklanjutnya.

Pemalsuan tersebut terkait dengan sengketa kursi DPR di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I antara caleg Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo, dan caleg dari Partai Gerindra, Mestariyani Habie.

Berdasarkan keterangan Abdul Hafiz Anshary pada RDP dengan Komisi II DPR, bahwa pada tanggal 21 Agustus 2009 telah diadakan rapat pleno KPU yang diketuai oleh Andi Nurpati karena Abdul Hafiz sedang berhalangan. Rapat pleno tersebut berpijak pada keputusan MK tertanggal 14 Agustus 2009 yang diketahui kemudian merupakan surat palsu. Berdasarkan surat palsu tersebut caleg Partai Hanura Dewi Yasin Limpo ditetapkan mendapat kursi di DPR.

Adapun surat asli dari MK tertanggal 17 Agustus 2009 bernomor 112/PAN.MK/VIII/2009 menetapkan bahwa yang mendapatkan kursi DPR adalah caleg dari Partai Gerindra yakni Mestariyani Habie. Surat MK tertanggal 17 Agustus ini tidak terungkap pada rapat pleno KPU itu. Ketua KPU Abdul Hafiz hingga pleno tanggal 21 Agustus 2009 tidak menerima surat MK tanggal 17 Agustus tersebut.

Andi Nurpati sempat menunjukkan surat putusan MK tertanggal 14 Agustus 2009 dalam rapat pleno tersebut, namun dalam bentuk kertas fax. Akan tetapi, setelah ditelusuri, ternyata surat dari MK tidak pernah diterima KPU melalui mesin fax. Bahkan nomor fax yang tercantum di surat tersebut ternyata berdasarkan keterangan dari PT Telkom sudah tidak aktif lagi.

Perwakilan dari Bawaslu yang hadir pada rapat pleno saat itu, Bambang Eka Cahya, sempat mempertanyakan keabsahan surat tertanggal 14 Agustus tersebut, karena berdasarkan salinan putusan MK yang didapatnya dengan men-download dari situs MK ada beberapa hal yang berbeda.
Bawaslu menyatakan keberatan kepada Andi Nurpati sebagai ketua rapat yang telah mengambil keputusan yang berbeda substansi dengan isi surat dari MK, namun keberatan Bawaslu tidak mendapat tanggapan.

Andi Nurpati diduga sebagai pihak yang memalsukan karena merupakan orang yang membawa fax yang dikatakan sebagai surat jawaban MK tanggal 14 Agustus. Padahal, Andi Nurpati juga yang menerima (melalui sopir pribadi) surat MK tanggal 17 Agustus yang ternyata tidak disampaikan ke rapat pleno tanggal 21 Agustus 2009.

Panja dan Harapan Hasil Kerjanya

Ketua MK Mahfud MD mengakui, pembentukan Panja DPR yang akan mendalami dugaan pemalsuan surat putusan pen-caleg-an oleh Andi Nurpati berpotensi membuka kasus lainnya.
Proses di Panja beresiko membuka kotak pandora. Sangat besar kemungkinan munculnya pertanyaan atas kasus-kasus lain diluar kasus pemalsuan dokumen MK yakni Surat MK ke KPU No. 112/PAN.MK/VII/2009.

Isu-isu yang dibahas Panja bisa liar dan mengarah pada masalah di luar ranah hukum, tapi bisa ke isu-isu yang bersifat politis. Jika masalah ini melebar dapat mengancam stabilitas politik.

Proses politik yang akan terjadi dalam Panja bisa memunculkan keraguan tentang keabsahan hasil Pemilu Legislatif 2009, sekaligus keabsahan anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Masalah sengketa Pemilu yang tidak terkait dengan keputusan MK bisa juga muncul dalam Panja tersebut.

Beberapa anggota Komisi II menyebutkan bahwa Panja akan mendalami kinerja KPU dalam penetapan kursi DPR di Pemilu 2009. Selain itu, Panja ini juga berusaha mengungkap keberadaan kursi bermasalah di parlemen. Mereka berharap selain untuk membongkar kecurangan pemilu, hasil dari kerja Panja juga akan digunakan untuk perbaikan sistem Pemilu.

Kerja Panja diperkirakan selesai sebelum RUU Penyelenggara Pemilu disyahkan, jadi hasil Panja bisa memberi masukan untuk penyempurnaan UU tersebut. Dengan harapan akan bisa mengunci agar tidak terulang modus seperti ini. Waktu pembahasan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu tidak terbahas perihal modus-modus mengakali kursi.

Pada awal kerja, Panja Mafia Pemilu mengundang Ketua MK Mahfud MD, karena dia sebagai pihak yang melaporkan kasus ini kepada polisi. Tim investigasi MK pun menjadi pihak yang sangat penting untuk menjelaskan kasus ini karena temuan dokumen palsu itu darinya. Ia menduga bahwa kasus Andi Nurpati ini hanya permukaan masalah.

Dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi II, Abdul Hakam Nadja, jika kasus ini terkuak, kasus serupa bisa muncul disana-sini. Artinya ada kemungkinan manipulasi perolehan kursi atau kursi haram di DPR hingga DPRD bisa saja terjadi dan mungkin jumlahnya banyak.

Arif Wibowo (anggota Komisi II dari F-PDIP) berpendapat sama. Ia mengatakan bahwa pengungkapan kasus pemalsuan dokumen yang melibatkan mantan anggota KPU, Andi Nurpati bisa jadi pintu masuk menguak keberadaan kursi haram di legislatif.

Panja ini akan bertugas menyusuri semua kursi ilegal di segala strata. Dan Panja akan mengecek semua data terkait rekapitulasi perhitungan perolehan suara yang disahkan KPU serta putusan MK yang asli. Namun begitu, kerja Panja diperkirakan akan mengalami kendala. Kendala tersebut antara lain disebabkan karena semua logistik dan data telah dilelang sehingga bisa menyulitkan kerja Panja.

Pelelangan itu didasarkan pada Peraturan KPU No. 75 Tahun 2009 yang disertai Peraturan Menteri Keuangan No. 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Pelelangan ini bertolak belakang dengan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pasal 8 ayat (4) huruf e yang menyatakan bahwa; KPU dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berkewajiban: e. "Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan." Dengan demikian, pelelangan yang dilakukan KPU telah melanggar UU.

Arif Wibowo menduga bahwa Peraturan KPU No. 75 Tahun 2009 memang sengaja dikeluarkan untuk menghapus kekacauan perhitungan perolehan Pemilu 2009.

Anggota Bawaslu Nur Hidayat Sardini mengatakan kasus pemalsuan surat MK tentang pemilihan legislatif tidak bisa dipidanakan. Alasannya kasus pidana pemilu harus sudah dilaporkan dan diselesaikan selambat-lambatnya lima hari sebelum penetapan pemilu nasional. Kalaupun ada indikasi Andi Nupati terlibat, menurutnya dia hanya bisa dilaporkan melanggar kode etik. Itu pun jika pemalsuan tersebut berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu.

Bercermin dari kesalahan ini, bagaimanapun kedepan KPU sebagai badan penyelenggara pemilu dituntut untuk menjadi suatu lembaga yang terpercaya. Kredibel tidaknya KPU, salah satunya ditunjukkan dengan rekam jejak para anggotanya. Kredibilitas badan penyelenggara pemilu akan terjaga apabila mengindahkan design dan cara bertindak, yakni:

pertama; independen dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh tunduk pada pihak manapun termasuk partai politik. Apabila ada anggota KPU bias dan berpihak dalam melakukan tugasnya, maka akan berdampak pada kredibilitas KPU, juga berdampak pada keseluruhan proses pemilu.

Kedua, efisiensi dan efektivitas. Efisiensi dan efektivitas penyelenggara pemilu tergantung pada beberapa faktor yakni; profesionalitas para staf, sumberdaya serta waktu yang memadai untuk menyelenggarakan pemilu dan melatih orang-orang yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya.

Ketiga, profesionalisme. Pemilu harus dikelola oleh kelompok khusus para ahli yang terlatih dan memiliki komitmen tinggi yang mengelola dan mempermudah proses pemilu serta merupakan karyawan tetap badan pelaksana pemilu.

Keempat; keputusan yang tidak berpihak dan cepat. Kerangka hukum harus membuat ketentuan tentang mekanisme untuk memproses, memutuskan, dan menangani keluhan dalam pemilu secara tepat waktu.

Kelima; transparansi. Kredibilitas menyeluruh dari suatu proses pemilu secara substansial tergantung kepada semua kelompok yang bersangkutan (termasuk partai politik, pemerintah, civil society, dan media) yang sadar akan dan ikut serta dalam debat yang mewarnai pembentukan struktur juga proses pemilu.

Penutup

Panja Mafia Pemilu yang dibentuk Komisi II DPR merupakan respon positif dan sigap menanggapi praktek yang menurut Ketua MK Mahfud MD sebagai kejahatan Konstitusi. Walaupun kerja Panja potensial bergulir kearah isu-isu diluar ranah hukum, namun hasil kerja Panja selain untuk membongkar kecurangan pemilu, diharapkan juga mampu menghasilkan perbaikan terhadap sistem pemilu dan pengaturan terkait penyelenggara pemilu.

Pengungkapan kasus pemalsuan dokumen yang melibatkan mantan anggota KPU, Andi Nurpati bisa jadi sebagai pintu masuk untuk menguak keberadaan kursi haram di legislatif. Panja ini akan bertugas menyusuri semua kursi ilegal di segala strata.

KPU telah melelang semua data dan logistik, hal ini telah melanggar UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Karena seharusnya KPU Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU. Pelelangan yang dilakukan KPU potensial menghambat kerja Panja.

Hasil kerja Panja diharapkan bisa memperbaiki kinerja KPU kedepan sehingga menjadi badan penyelenggara pemilu yang independen dan tidak berpihak, efektif dan efisien, profesional, bisa bertindak cepat dan transparan.

Rujukan

- UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

- IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Peninjauan Kembali Kerangka Hukum

Pemilu, Swedia, 2002

- “Komisi Politik Usut Kursi Haram di DPR,” Koran Tempo, 15 Juni 2011

- “DPR Bentuk Panja Kasus Nurpati,” Media Indonesia, 15 Juni 2011

- “Panja Resmi Terbentuk,” Indo Pos, 15 Juni 2011

“Bawaslu-KPU Ungkap Kursi Haram; DPR Bentuk Panja Pemalsuan Dokumen MK,” Repulika, 15

Juni 2011

- “Mahfud: Kasus Andi Kejahatan Konstitusi,” Seputar Indonesia, 15 Juni 2011

- “MK Khawatir Kasus Nurpati Lari ke Politik,” Bisnis Indonesia, 16 Juni 2011

- “Panja Minta Keterangan Mahfud MD,” Republika, 17 Juni 2011

- “DPR Beri Nama Panja Mafia Pemilu,” Pelita, 17 Juni 2011

- “Demokrat Bentengi Andi Nurpati,” Media Indonesia, 17 Juni 2011

- “DPR Menelusuri Kursi Tidak Sah,” Kompas, 17 Juni 2011


Penulis adalah, Siti Nur Solichah : Peneliti Madya Bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Setjen DPR RI,

Minggu, 22 Mei 2011

EKONOMI GLOBAL SEBUAH TANTANGAN INDONESIA KEDEPAN LEBIH BAIK

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak dunia bekerja sama mengatasi ketidakseimbangan ekonomi global dengan mempercepat reformasi sektor keuangan. Reformasi keuangan diperlukan untuk mempercepat kemajuan industri keuangan sebelum krisis lanjutan kembali terjadi.

"Seperti yang telah didiskusikan dalam G-20,kita harus bekerja sama mengatasi ketidakseimbangan global,”kata Presiden SBY saat menyampaikan pidato resminya pada Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Congress Hall Kongres Zentrum, Davos,Swiss.

Karena itu,menurut Presiden, sangat penting bagi negara-negara kelompok G-20 mengimplementasikan komitmen yang telah dihasilkan pada pertemuan tersebut. Demi menghadapi permasalahan ekonomi global, Presiden SBY juga menekankan pentingnya jaringan pengaman keuangan global sebagai pertahanan lapis kedua agar dunia dapat mengantisipasi guncangan ekonomi di masa depan.

Menurutnya, cara paling ampuh dan seharusnya dilakukan setiap negara di dunia adalah mengembangkan sebuah pertumbuhan ekonomi yang inklusif seperti diterapkan Indonesia. “Ini berarti kita harus menaruh perhatian lebih pada kebijakan ekonomi dan sosial kita,yaitu tidak hanya terpaku pada pertumbuhan, tetapi bagaimana mencapai pertumbuhan dengan pemerataan yang bisa mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera.” “Ini adalah filosofi utama dari pembangunan Indonesia.”

Presiden menjelaskan, tujuan pembangunan Indonesia hanya bisa berhasil melalui penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan tanpa toleransi terhadap korupsi. Dalam pidatonya Presiden SBY juga menyampaikan adanya perubahan konstelasi dunia saat ini dengan tumbuhnya pusat kekuatan ekonomi baru di kawasan Asia.Menurutnya, Asia yang saat ini mengalami pertumbuhan ekonomi cepat dan kuat tidak hanya meliputi China, India, dan Jepang, tetapi juga Indonesia.

“Ketika memikirkan Asia,juga pikirkan Indonesia dan ASEAN.Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia,terbesar ekonominya di Asia Tenggara,area kunci pertumbuhan ekonomi dunia, dan segera kami akan menjadi tenaga kerja paling produktif di Asia.Indonesia akan berperan utama dalam kebangkitanAsia,”kata Presiden.

Presiden SBY juga menyatakan, isu ketahanan pangan harus menjadi prioritas utama G-20 menyusul melonjaknya harga pangan yang berpotensi menyebabkan kerusuhan sosial. “Indonesia sangat mendukung diutamakannya masalah ketahanan pangan dalam agenda G-20,”kata SBY.

Mengutip data Organisasi Pangan Dunia (FAO),Presiden SBY menyatakan, harga pangan dunia telah mencapai rekor tertinggi sejak 2008 dan masih berpeluang meningkat lagi.“Tingginya harga pangan berimbas pada inflasi,juga kemiskinan dan kelaparan yang bisa memicu krisis sosial dan politik,”kata SBY.

Sementara itu,Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang mendapat giliran berbicara setelah SBY menyatakan, Prancis menyerukan agar diterapkan pajak atas transaksi keuangan. Nantinya, pajak yang terkumpul itu akan dialokasikan untuk membantu pembangunan. Sarkozy juga meminta kelompok negara-negara terkemuka untuk maju dan menjadi contoh dalam masalah ini.Menurutnya,di Kopenhagen, saat pertemuan membahas perubahan iklim, negara-negara besar memutuskan untuk mentransfer sekitar USD120 miliar per tahun mulai 2020. “Dana itu akan ditujukan untuk negaranegara miskin,”kata Sarkozy.

Di bagian lain Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) Jean-Claude Trichet kemarin mengatakan,meski krisis utang tengah melanda Eropa, mata uang tunggal di kawasan itu tidak sedang krisis, hanya memerlukan pengawasan yang lebih baik.Meski demikian,Trichet mengakui pemerintah di negara-negara Eropa memiliki masalah masingmasing, termasuk utang publik.

“Ada dua elemen yang akan menjadi kunci utama kesehatan di zona euro, yakni perilaku individu yang baik dan pengawasan,” kata Trichet saat mengisi acara di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss,kemarin.

Pernyataan Trichet didasarkan pada melemahnya nilai tukar euro dalam setahun terakhir akibat meluasnya krisis anggaran di Zona Euro. Namun kemarin euro menguat ke level tertinggi dalam dua bulan terakhir, terbantu komentar para pemimpin Eropa yang menyatakan kekhawatirannya terhadap tekanan inflasi. Selain itu, euro kemarin diuntungkan jatuhnya yen setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor’s menurunkan peringkat utang jangka panjang Jepang menjadi “AA-“ dari semula “AA”. Euro kemarin diperdagangkan di kisaran USD1,3756,tertinggi sejak November 2010.

Sementara terhadap nilai tukar Jepang menguat menjadi 113,8 yen per euro. Pada ajang WEF kemarin, Sarkozy mengatakan negaranya bersama Jerman tidak akan membiarkan Eropa gagal.