Jumat, 15 Maret 2013
SUARA TERBANYAK BUKANLAH INDIKATOR SUARA YANG TERBAIK . artikel : Erllinda ( Kader Hanura-Kota Singkawang)
Penngantar
kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini sudah sangat rawan dimana semakin menurun nya rasa kesatuan dan persatuan anatra hidup bermasyarakat dengan indikator menurunnya rasa toleransi serta egoisme berkembang pesat dalam bentuk mengutamakan kepentingan diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan umum.
Hal ini terjadi setelah kita di bentuk dalam hidup serba berkebebasan yang tidak terukur dan konsep yang tidak searah sehingga jalan pemikiran kemjauan agak menyimpang dari maksud manusia sebagai makluk sosial (zoon politicum) berubah jadi manusia memakan manusia itu sendiri ( homomononolipus )
Peradapan manusia berubah sesuai dengan keadaan yang kurang kOndusif dimana paham penekanan Hak Azazi Manusia menjadi projek pembentukan pola hidup bermasyarakat yang kan mengubah bentuk kepribadian manusia akan melanggar Hak Azazi Manusia itu sendiri didasarkan kepada kekuatan-kekuatan yang dimliki dimana menjadi superior bagi manusia untuk menegakan kebenaran bakhan menyatakan kebenaran itu sendiri, sekalipun dalam bentuk sebenarnya sebuah kesalahan.
Dindonesia hal ini mengalir semenjak adanya reformasi 1998 yang dibangun dimana melahirkan konsep pemaksaan kehendak sebuah contoh yang paling nyata dalam konsep demokrasi " suara terbanyak " sebagai alat pembenar dapat dbayangkan bila ada dalam sebuah lembaga anggotanya 13 orang 7 yang orang setuju dan ada 6 suara yang setuju maka yang dipilih adalah suara yang terbanyak pada kenyataannya suara terbanyak itu belum tentu mewakili kebenaran yang dibenarkan, sebab suara yang tujuh itu belum tentu untuk kepentingan rakyat, mungkin saja suara 6 itu yang mewakili suara masyarakat, maka hal yang pen6ing disini adalah bangaimana kita menunjuk wakil-wakil kita di DPR/DPRD dapat memberikan pemenuhan rasa keadailan dan kebenaran yang dibenarkan sebagai antibiotik pengentasan kesalahan dalam menentukan pilihan anggota DPR/DPRD nantinya 2014-2019 nanti.
ironisnya adalah kebenaran itu bukanlah bukan saja hasil kesepakatan suara terbanyak namun kebenaran itu adalah sebuah atau sesuatu yang sesuai dengan teoritis dan konsepsional dari sebuah wacana dalam ruang lingkup wawasan kebenaran disertai keadilan yang selaras dan seimbang seimbang dengan nilai-nilai rasa kemanusiaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar